Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Arie Wahyu Cahyadi, Pemandu Wisata Tanpa Suara

Kompas.com - 22/03/2014, 11:30 WIB
BAGI Arie Wahyu Cahyadi (28), apa yang dijalaninya seperti sebuah kontradiksi untuk sebuah pekerjaan pemandu wisata, yang biasanya ramai dengan celoteh mengenai obyek wisata kepada wisatawan yang dipandunya. Tanpa suara, sebagai pemandu wisata, warga Kabupaten Badung, Bali, itu justru menjelaskan berbagai obyek wisata Pulau Bali hanya dengan gerakan bibir dan tangannya secara sabar serta perlahan.

Untuk memperlancar komunikasinya kepada turis-turis, Arie dibantu lembaran-lembaran yang berisi ringkasan mengenai sejumlah obyek wisata yang dijelaskannya. Dialah pendiri Balideafguide yang juga menjadi kebanggaan membantu sesama penyandang tunarungu untuk tetap bisa menikmati pariwisata ”Pulau Dewata” tanpa batas.

Wahyu memang bukan penyandang tunarungu bawaan lahir. Ia menjadi siswa tunarungu karena sakit yang dideritanya ketika anak-anak. Namun, ia memiliki semangat untuk maju. Karena itu, ia memilih tinggal di Bali bersama pamannya dan meninggalkan kampung halamannya di Flores, Nusa Tenggara Timur.

”Saya merasa sekolah luar biasa di Bali lebih maju dibandingkan di Flores. Orangtua saya dan dua adik saya mendukung demi kemajuan saya. Sekarang, saya suka tinggal di Bali sini dan memiliki keluarga,” kata Wahyu perlahan-lahan ketika ditemui akhir Februari lalu.

Wahyu pun bisa menyelesaikan sekolah luar biasanya, lalu melanjutkan kuliah di Jurusan Teknik Informatika Politeknik Universitas Ganesha, Bali.

Mengenai pekerjaannya saat ini sebagai pemandu wisata, bagi Wahyu itu bukanlah merupakan cita-citanya semula. Ini berawal dari kedatangan beberapa wisatawan asing asal Australia yang menyandang tunarungu. Mereka datang ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagian B Negeri Pembina Tingkat Nasional Jimbaran, Kabupaten Badung, sekitar tahun 2008.

Para turis Australia itu sengaja datang untuk meminta bantuan pihak sekolah. Mereka berharap ada siswa yang bisa menemani dan menjelaskan mengenai obyek wisata di Bali kepada mereka karena ”keterbatasan” mereka. Alasannya, turis ini tidak menemukan biro perjalanan wisata yang menyediakan jasa pemandu untuk penyandang tunarungu. Wahyu pun kemudian ditunjuk pihak sekolah dan ia menyanggupinya. Lama-kelamaan, setelah melakukan pekerjaan dengan para wisatawan Australia itu, Wahyu pun menikmatinya.

Hanya saja, Wahyu bercerita, menjadi pemandu wisata terkesan biasa, tetapi tidak untuk mengantar sesama penyandang tunarungu. Wahyu pun menyadari tidak semua wisatawan memiliki bahasa yang sama dalam bahasa isyarat. Ia mempelajari bahasa isyarat dari sejumlah negara sekitar dua tahun secara otodidak. ”Jika masih kesulitan menggunakan bahasa isyarat, saya berkomunikasi menggunakan tulisan dan gerakan tubuh saja,” kata Wahyu.

Tak ada beda

Sejumlah teman wisatawan Australia yang berkunjung ke Bali pun kemudian mencari Wahyu. Ia lantas dikenal sebagai pemandu wisatawan tunarungu dari mulut ke mulut. Ini memunculkan ide bagi Wahyu untuk membuat situs web bernama Balideafguide di tahun 2009. Saat itu, ia tengah menyelesaikan studi di politeknik. Teman Wahyu membantu mengajarinya mempercantik isi laman situsnya.

Situs yang dibuatnya itu lengkap dengan bahasa Jerman dan bahasa Inggris. Mengapa tidak ada bahasa Indonesia? ”Karena selama ini saya tidak pernah mengantar wisatawan dari Indonesia. Semua tamu saya berasal dari Eropa, Asia, Amerika Serikat, dan Australia. Jadi, saya memutuskan menuliskan situs saya dengan dua bahasa saja tanpa Indonesia,” ujar Wahyu.

Dalam situs tersebut, Wahyu melengkapi dengan video dengan bahasa isyarat selain informasi tertulis. Siapa pun yang membutuhkan jasanya bisa menghubunginya melalui pesan singkat telepon genggam dan surat elektronik.

Menurut Wahyu, tak ada bedanya memandu wisatawan tunarungu dan yang bukan seperti mereka karena ia merasa tidak berbeda ketika berada di lingkungan obyek wisata. Hampir semua petugas di obyek-obyek wisata di Bali mengenal Wahyu. Maklum, ia merupakan pemandu wisatawan tunarungu satu-satunya di Pulau Surga ini.

KOMPAS/AYU SULISTYOWATI Sejumlah siswa tunarungu Sekolah Luar Biasa Bagian B Pembina Tingkat Nasional Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, tengah berlatih menari di halaman sekolah, Jumat (28/2/2014). Seorang wisatawan asing pun mengabadikannya. Sekolah ini sering dikunjungi wisatawan asing, terutama yang menyandang tunarungu.
Para wisatawan tunarungu ini tak sebatas sebagai tamu bagi Wahyu, karena tak sedikit yang berlanjut menjadi sahabat setelah kembali ke negara masing-masing. Mereka bagai bertemu keluarga. Dalam memandu, Wahyu tak hanya mengantar tamu di obyek wisata saja. Ia mengajak tamunya singgah ke SLB di Jimbaran, sekolah menari, serta yang tertarik belajar surfing (berselancar). ”Penyandang tunarungu sebenarnya tidak benar-benar tak mendengar. Mereka hanya kurang pendengaran. Tetapi, mereka masih bisa menari dengan hatinya untuk mendengarkan musik,” tutur Wahyu.

Dengan mengenakan udeng (ikat kepala khas Bali) serta kaus Balideafguide, serta kain, ia menemani tamunya sendiri. Ia menyetir mobil yang legal terdaftar sebagai pengantar wisatawan. Kadang, istrinya yang bukan penyandang tunarungu, Putu Rusmianti (28), menemaninya mengantar tamu.

Sehari, Wahyu bisa mengantarkan tamu-tamunya ke lima obyek wisata. Jika tamunya datang lebih dari 10 orang, ia menyewa minibus beserta sopirnya untuk mengantar. Selama sekitar lima tahun ini, belum ada dari pihak pemerintah yang menghubunginya. Ia berharap bisa berkomunikasi dengan pemerintah untuk mendapatkan pembinaan.

Wahyu berharap teman-teman sekolah tunarungunya memiliki motivasi untuk belajar berkomunikasi. Menurut Wahyu, teman sekolahnya masih malu-malu untuk berkomunikasi. Padahal, itu menjadi bekal penting untuk bisa tetap maju dan berinteraksi dengan masyarakat luas. Karena itu, dia ingin usahanya terus maju dan bisa mengajak teman-teman tunarungunya bekerja.

Ia paham pangsa pasar untuk pemandu wisatawan tunarungu ini kecil, tetapi ia yakin tetap ada dan dibutuhkan, khususnya di Bali. Namun, pemerintah setempat belum memiliki perhatian untuk itu. ”Saya harus tetap bersemangat dan bekerja agar teman-teman saya juga bisa bekerja dan dihargai masyarakat. Kami ini tanpa suara, tetapi kemampuan kami sama. Itu saja,” kata Wahyu. (AYU SULISTYOWATI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com