Kabut menggantung rendah saat kami memasuki Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada. Dua gunung berapi menjulang di kiri dan kanan, Inerie kebanggaan Ngada serta Ebulobo andalan Nagekeo. Meski jingga sore itu hanya berpendar samar, tak urung kami berhamburan keluar saat mobil menepi. Siapa sanggup melawan mantra mentari terbenam di punggung Ebulobo?
Syahdan, Ebulobo adalah seorang pemuda yang mencintai Inerie akan tetapi pujaannya lebih memilih pemuda lain bernama Masih. Tidak ada tempat yang lebih dramatis untuk mendengarkan kisah kasih tak sampai ini selain Bukit Wolobobo. Di antara ilalang tinggi yang membentuk sabana kecil di puncak bukit, saya berdiri sangat dekat dengan Gunung Inerie dan melihat jelas Batu Jaramasih (kuda milik Masih).
Kisah pilu tersebut hanyalah satu dari sekian legenda tentang Ibu Agung Inerie. Apa pun kisahnya, Inerie adalah gunung penghias imaji setiap kanak-kanak saat menggambar – bentuknya segitiga dengan ujung nyaris runcing sempurna.
Saat trekking ringan ke puncak Wolobobo, saya menyaksikan fenomena langka yang tidak saya mengerti hingga kini. Matahari terbit dari balik lokasi yang sama dengan terbenam kemarin – punggung Ebulobo! Well, setidaknya itu yang terlihat oleh mata awam saya yang – tentu saja – bukan ahli astronomi. Semesta sontak terbangun oleh cahaya jingga yang sangat berkilauan pagi itu.
Kain Ikat yang dipajang di teras rumah sesekali melambai tertiup angin, memikat siapa saja yang lewat. Binar mata dan jabat hangat Mama Maria saat menyambut kami merupakan sebuah pengalaman yang akan selalu saya kenang.
Bicara soal Bajawa tentu tak lepas dari kopi. Kualitas kopi Bajawa diakui internasional sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan saya yang bukan peminum kopi jatuh cinta pada renyahnya biji kopi Bajawa yang baru disangrai.
Petang seketika menghangat oleh harum kopi ditemani suguhan singkong, jagung dan pisang rebus serta sayur urap Rumpu Rampe. Bayangkan nikmatnya menyesap kopi terbaik dunia langsung di daerah asalnya!
Selain kopi, Ngada juga memiliki beberapa sumber air panas untuk mengusir hawa dingin pegunungan. Malanage misalnya, sebuah sungai dengan aliran air bersuhu mendidih di bagian hulu dan hangat di bagian hilir. Letaknya tidak jauh dari jalan raya serta terdapat ruang ganti sederhana dan pondok kecil milik warga di samping sungai.
Kejutan manis menyambut kami di Gurusina. Kaki kecilnya bergerak lincah ke arah kami, satu persatu tangan kami diraih dan dicium sembari berceloteh cadel. Seperti orang Flores pada umumnya, keramahan adalah bakat alami yang mengalir di nadi balita itu.
Marcel, belum genap berusia dua tahun, dengan gembira menuntun kami ke tengah desa. Jarinya sibuk menunjuk ke sana ke mari, memastikan kami memotret keindahan desa serta pemandangan yang melatarinya. Tanpa canggung dia bermain, meminta dipangku dan digendong secara bergantian. Makan siang kami semakin berwarna berkat kehadiran Marcel dan Grace, gadis kecil sepupunya.
Setiap mengunjungi desa adat di Flores, saya selalu terkesan dengan atap rumah tradisionalnya. Bentuknya beragam tergantung suku, mulai dari kerucut hingga persegi, dan kesemuanya sangat rapi. Mungkin Edward Scissorhands – robot lugu bertangan gunting pada film Hollywood – pun akan kewalahan jika diminta membuat atap ilalang serapi itu.
Berada di sini membuat dunia yang saya kenal terasa jauh. Dunia yang berjarak dari akar budaya, dimana hutan beton dan hal serba instant marak dipuja. Dunia yang ironisnya kini ramai membayar mahal untuk konsep green-living yang tadinya dianggap primitif.