Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan Spiritual Menuju Kakbah

Kompas.com - 19/07/2014, 16:57 WIB
KAKBAH Al Musyarrafah, bangunan kubus yang mulia, setinggi 15 meter itu sejarahnya bisa dirunut hingga Baitul Makmur, tempat thawaf (berputar) para malaikat di langit ketujuh, dan diproyeksikan ke bumi di tengah Mekkah. Kala umrah pertama, 15 tahun lalu, jumlah jamaah yang sedikit, membuat thawaf berlangsung cepat dan mudah.

Bahkan ketika jemaah menyemut, kotak hitam itu seperti memiliki daya sentrifugal. Memulai dari lingkar besar terluar untuk tujuh putaran, dari putaran ke putaran berikutnya, saya seperti makin ditarik ke dalam. Ketika menyelesaikan putaran terakhir, saya mengikuti rombongan, perlahan melipir keluar.

Bertolak belakang dari Jabal Magnet yang memiliki daya magnet tinggi, seputar Ka’bah dipercaya merupakan pusat Bumi. Titik tanpa magnet, bebas gravitasi, daya tarik Bumi. Saya pernah coba membuktikan, bahwa, konon bila membawa kompas ke sini, jarum penunjuk utara dan selatan tak bergerak. Tapi sulit memperhatikan dalam kondisi harus terus berputar. Yang saya percaya–terlepas dari sugesti–pusaran itu adalah seperti hal positif yang sering digembar-gemborkan jasa spa: Rejuvenating, energizing, detoxifying, exfoliating, relaxing, nourishing ….

Salat di Masjid Nabawi dijanjikan pahala 1.000 kali lebih tinggi dibanding di tempat lain, kecuali di Masjidil Haram yang dijanjikan 100.000 kali lipat. Sambil thawaf, saya perhatikan ada jemaah pria dari tanah India, memunguti sampah, tissue yang tercecer dari jemaah lain. Saya merasa ia melakukan dengan cinta, bukan sekadar menangguk pahala.

Kali lain, saya dan Trizki (sahabat saya) pernah didekati pemukim Indonesia yang menawarkan bisa mencium Hajar Aswad, satu-satunya benda surga di Bumi yang ditempatkan di sudut Kakbah. Tentu berimbalan tertentu. Kami tak tertarik. Selain, tak ada nilai khusus menciium si batu hitam, jengah juga masih ada calo di titik tersuci di Bumi.

Selain ketika puasa Ramadhan, selepas thawaf, kami minum air zamzam, yang mengandung tujuh mineral berkadar tinggi seperti kalsium, klorida, dan mendatangkan hal sesuai dengan kepercayaan ketika mereguknya, “Ya Allah, limpahilah kami rezeki, ilmu yang bermanfaat, kesehatan yang baik, dan hilangkan segala kesedihan dan kesulitanku….”

Busyro, muthawwif (guide) bertutur, “Bulan lalu saya mengantar jamaah pria pemabuk yang ingin benar-benar tobat. Selalu berdoa sampai menangis dan mengusap matanya dengan zamzam. Jelang pulang, ia tak perlu lagi berkacamata. Itu satu-satunya keajaiban yang pernah langsung saya saksikan.” Ketika gejala batuk dan minum zamzam dengan niat sembuh, batuk saya urung.

Mata air zamzam, beberapa langkah tenggara Kakbah terpancar oleh hentakan kaki Nabi Ismail setelah ibunya, Siti Hajar, bersusah payah ke selatan, tujuh kali bolak-balik antara Bukit Safa dan Marwa yang berjarak sekitar 375 meter. Selama berabad-abad, tiap hari diminum jutaan umat, bahkan diekspor ke Madinah, zamzam tak pernah mengering. Siap minum tanpa dimasak.

Untuk mengenang perjuangan pantang menyerah ibu yang mencari air bagi bayinya itulah usai thawaf kami menjalankan Sa’I, yang kondisinya sangat enak: tiada lagi bukit batu, tapi pelataran datar berdinding dan lantai marmer yang masih dipersejuk kipas angin bagian dari Masjidil Haram. Ada jalur khusus untuk yang berkursi roda.

Masjid yang bisa menampung hingga empat juta jamaah ini buka 24 jam. Kini, bila berniat umrah untuk belajar naik haji, dengan sekitar tiga juta jemaah di dalam Masjid, suasana itu kita akan dapatkan. Jam berapa pun ke sini, jemaah selalu menyemut. Tak ada pemisahan pintu masuk pria dan wanita. Walau sebenarnya ada pemisahan tempat salat pria dan wanita, bila saat itu tiba, pria dan wanita bisa bersisian begitu saja, memperjuangkan satu tempat untuk menghadap Ka’bah. Hanya memandang si kotak ber-kiswah (selubung hitam berkaligrafi emas) itu saja dijanjikan puluhan kebaikan.

Di sini juga bebas membawa telepon genggam dan kamera sementara di Masjid Nabawi kedua benda itu tak diperkenankan. Tapi, saya tetap berhati-hati untuk tak memotret wajah jemaah wanita, terutama dari jazirah Arab. Seseorang mengisyaratkan itu tak diperkenankan sesuai tradisi mereka. (Christantiowati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com