Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menelusuri Jejak Sejarah Perang Dunia II di Biak

Perjalanan jauh yang kami lalui dari Jakarta memaksa kami untuk beristirahat lebih lama di Biak, kota transit tempat kami berganti moda transportasi. Saat itu saya bersama tim Ekspedisi Bumi Cenderawasih dilanda sedikit kebingungan. Kami belum mendapat kepastian mengenai jadwal kapal yang seharusnya mengantarkan kami ke Manokwari.

Bepergian bersama mahasiswa pencinta alam memang memiliki manfaat dan tantangannya sendiri. Beruntung dalam perjalanan kali ini saya merasakan keduanya.

Saat ada waktu kosong, mereka yang sudah punya jam terbang yang tinggi dalam hal ekspedisi pasti merasa ‘gatal’ jika hanya disuruh diam di penginapan. Apalagi kami berhenti di kota Biak. Sebuah tempat yang banyak terdengar mengenai keindahan alamnya.

Tantangan yang harus saya hadapi adalah menyiapkan diri untuk ‘eksplorasi dadakan di Biak’ dengan melawan ‘inginnya beristirahat satu hari penuh setelah 8 jam menempuh perjalanan Hercules’ cukup besar. Namun, manfaat yang saya miliki dalam ‘eksplorasi dadakan di Biak’ jauh lebih besar lagi.

Para pencinta alam ini tidak hanya jago dalam hal eksplorasi. Mereka juga sangat gesit dalam hal perencanaan. Ada saja orang yang berani mereka datangi untuk menanyakan rekomendasi tempat-tempat yang mereka bisa jelajahi. Tak hanya meminta rekomendasi, mereka bahkan tak segan meminta bantuan. 

Berangkat dari Jakarta hingga sampai di Biak, kami menggunakan bantuan dari TNI AU berupa pesawat. Saat tahu, kami tidak langsung melanjutkan perjalanan ke Manokwari, tempat yang seharusnya menjadi base communication untuk kegiatan kami yaitu Ekspedisi Bumi Cenderawasih.

Saat bertemu, tidak hanya menyampaikan berterima kasih, tetapi kepala tim kami, Ghazi, juga mengambil inisiatif untuk menanyakan tempat-tempat yang bisa dikunjungi oleh kami di Biak hari itu.

Pak Fajar, yang merupakan pemimpin Landasan Udara Manuhua dengan pangkat Marsekal Pertama, menjawab dengan antusias keinginan kami untuk menjelajahi kota Biak. Ia menyarankan, utamanya, adalah untuk kami mengeksplorasi keindahan bawah laut dengan snorkeling dan diving.

Merasa tidak memungkinkan dalam hal perlengkapan dan juga waktu, ia pun memberikan saran untuk kami mengeksplorasi peninggalan Perang Dunia II di kota yang menjadi salah satu tempat dengan dampak terparah pasca-perang tersebut.

Saat sampai di depan area Goa Jepang, satu hal yang paling menarik perhatian adalah koleksi misil, bom, dan peluru yang dibentuk melingkari senapan otomatis yang dikeluarkan tahun 1940-an oleh Jepang.

Kebetulan, koleksi alat berat yang sudah sangat berkarat tersebut terjajar tak jauh dari koleksi noken, tas anyam cantik yang dijual di toko oleh-oleh.

Untuk bisa masuk ke Goa Jepang dikenakan retribusi sebesar Rp 10.000 per orang. Di bagian pusat informasi terdapat foto-foto dan arsip peninggalan tentara Jepang, peta keseluruhan goa, dan juga informasi dasar mengenai goa.

Goa Jepang di Biak ini sebenarnya memiliki nama asli goa Binsari. Situs ini menjadi saksi bisu pertempuran antara pasukan Jepang melawan pasukan sekutu.

Bergeser sedikit dari pusat informasi dan tidak jauh dari situs goa, dibangun ruang arsip khusus yang menyimpan sisa tulang-tulang dan tengkorak pasukan eks-tentara Jepang yang berlindung di bawah goa pada pengeboman 7 Juni 1944 oleh pasukan sekutu.

Mulut goa Binsari terletak tidak jauh dari pusat informasi dan ruang arsip tulang, tetapi sebelumnya kami lebih dahulu disuguhkan dengan pemandangan lubang yang menembus ke dalam goa sebesar ±30 meter.

Pertama kali decak kagum keluar melihat lansekap yang lebar menganga itu, hingga salah seorang sahabat berbicara, “Kira-kira apa (bom) yang mereka masukkan hingga membuat lubang sebesar ini?”, dan kami pun menyadari kejadian tragis yang terjadi berpuluh-puluh tahun silam.

Di bagian dasar goa yang tertembus sinar matahari, tumbuh subur tumbuhan yang mengarah ke puncak karst degan tinggi yang sedang. Dilihat dengan mata telanjang ataupun melalui lensa, pemandangan di dalam goa seperti latar yang diambil dalam film Jurassic Park.

Sebuah bendera dan tulisan kanji diikat pada akar pohon dan menjadi titik ziarah bagi keluarga eks-tentara Jepang.

Pak Sampir membawa kami tak hanya ke Goa Jepang, tetapi juga ke Monumen Perang Dunia II yang terletak 7 km dari situs goa. Monumen tersebut dibangun oleh Pemda Biak di Desa Paray, terletak antara Mokmer dan Bosnik, Biak Timur.

Konon, di tempat monumen tersebut dibangun, terdapat peti-peti jenazah eks-tentara Jepang. Namun sayang, peti-peti tersebut diperjualbelikan secara illegal dan memperkecil kemungkinan ziarah keluarga eks-tentara Jepang ke tanah Biak.

(Artikel dari anggota Tim Ekspedisi Bumi Cenderawasih Mapala UI, Nabila Andrawina. Artikel dikirimkan langsung untuk Kompas.com di sela-sela kegiatan Ekspedisi Bumi Cenderawasih di Papua Barat)

https://travel.kompas.com/read/2018/08/02/224559527/menelusuri-jejak-sejarah-perang-dunia-ii-di-biak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke