Siang itu, dua mobil pribadi terparkir di depan bangunan berkonstruksi kayu tanpa cat tersebut.
“Silakan duduk,” sambut Karim, penuh senyum.
Warung makanan itu salah satu yang melegenda di sisi jalan lintas nasional Medan-Banda Aceh, Kabupaten Aceh Timur. Mereka menjanjikan penganan yang disajikan dengan bumbu tradisional khas Aceh dan tanpa penyedap rasa buatan.
“Tagline kami bumbu gampong (desa) tanpa penyedap,” kata Karim berpromosi.
Di meja terhidang beberapa menu seperti udang galah goreng, daun ubi rebus, rendang jengkol, aneka ikan sekap disayur lemak, hingga ikan kareng (teri) disambal goreng.
“Hanya ini menu yang kami punya,” kata Karim. Dia tak henti-hentinya mempromosikan masakan itu.
Dua pekerja perempuan dengan cekatan mengangkat hidangan ke meja. Senyum mereka sangat ramah. Berkali-kali kepada pengunjung dia mengulang-ulang kalimat, “Jika ada yang kurang, harap dikabari kami".
Siang itu terlihat tiga meja dipenuhi pengunjung. Ya, itulah suasana rumah makan Kota Basarah. Nama ini merujuk ke proses masuknya Islam ke Peureulak, Aceh Timur.
Dari nama kota pelabuhan itu lah diambil nama rumah makan tersebut. Dibuka sejak 2009 lalu, rumah makan ini dapat dikunjungi mulai pukul 09.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB.
Praktis makan siang dan makan malam tersedia di sana. Halaman parkir nan luas membuat angkutan umum, truk, dan mobil pribadi kerap singgah di daerah ini.
Apalagi, di sisi kiri-kanan bangunan masih terdapat kebun warga menambah kesejukan rumah makan itu. Soal rasa, saya mencicipi beberapa menu, seperti semur jengkol, ikan sakab digulai, rasanya sungguh pas di lidah. Benar-benar tanpa penyedap rasa.
Namun saya menolak. Dugaan saya, sengaja dibuat agak tawar, agar ketika dibalur kuah dari ikan atau menu lain rasanya akan pas di lidah.
Begitu dicoba, ternyata dugaan saya benar, begitu semur jengkol dibalur dengan sayur rebus, plus ikan sakab digulai, rasa tawar itu hilang seketika. Cukup pas di lidah.
Uniknya lagi, seluruh menu itu diracik secara tradisional. Tanpa sentuhan teknologi modern seperti blender. “Digiling manual. Masih sangat manual. Ini kami pertahankan, karena menurut banyak orang, bumbu digiling manual itu, rasanya lebih enak,” kata Karim.
Muammar, salah seorang pengunjung mengamini pernyataan Karim. Dia mengakui kelebihan rumah makan itu terletak pada pilihan bumbu. Baginya, bumbu di rumah makan ini istimewa.
Tampaknya itu pula yang membuat pengunjung melabuhkan pilihan makan siang dan malam di rumah makan itu. Mereka singgah untuk mengisi lambung, menikmati bumbu tradisional.
Nah, Anda penasaran, silakan singgah ketika melintasi rute nasional Medan-Banda Aceh. Selamat mencoba.
https://travel.kompas.com/read/2018/10/09/105000927/menikmati-makanan-dengan-bumbu-tradisional-aceh-tanpa-penyedap