KOMPAS.com - Keraton Yogyakarta memiliki tradisi unik menyambut tahun baru Islam atau tahun baru Hijriah, yakni Mubeng Beteng. Tradisi turun temurun ini, masih dilestarikan hingga sekarang.
Tradisi Mubeng Beteng merupakan salah satu dari sejumlah tradisi menyambut tahun baru Islam di Indonesia. Perayaan tahun baru Islam tersebut, bersamaan dengan tahun baru Jawa, atau lebih kerap disebut malam satu Suro.
Lantas, apa itu tradisi Mubeng Beteng? Simak ulasannya seperti dihimpun Kompas.com berikut ini.
Mubeng Beteng merupakan tradisi Keraton Yogyakarta dalam menyambut tahun baru Islam dan tahun baru Jawa, seperti dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Tradisi turun temurun ini dilaksanakan dengan tirakat lampah ratri, atau munajat kepada Tuhan YME dengan berjalan mengikuti lintasan tertentu. Sebetulnya, ada sejumlah lintasan dalam Mubeng Beteng, namun yang populer adalah mengelilingi Keraton Yogyakarta.
Jadi, para abdi dalem keraton dan warga peserta ritual berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.
Para abdi dalem berbaris di bagian depan mengenakan pakaian Jawa tanpa keris dan alas kaki, seperti dikutip dari Kompas.com (8/8/2021). Mereka berjalan sambil membawa bendera Indonesia dan panji-panji Keraton Yogyakara. Sementara, warga peserta Mubeng Beteng berada di belakang abdi dalem.
Ritual ini dimulai pada tengah malam, saat lonceng Kyai Brajanala di Plataran Keben dibunyikan sebanyak 12 kali. Selanjutnya, abdi dalem dan warga peserta kiran berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.
Rute Mubeng Beteng berlawanan dengan arah jarum jam. Dimulai dari Plataran Keben, kemudian peserta ritual melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, dan Jalan Suryowijayan.
Kemudian melintasi pojok Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Jalan Mayjen Sutoyo, pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan Alun-alun Utara. Dari Alun-alun Utara, peserta ritual kembali ke Plataran Keben.
Sebelum mubeng beteng dimulai, terlebih dulu dibacakan tembang-tembang Macapat dari Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta, yang menggambarkan doa-doa.
Sejarah tradisi Mubeng Beteng?
Melansir Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, tradisi Mubeng Beteng merupakan upacara resmi Keraton Yogyakarta sejak pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana.
Mulanya, Mubeng Beteng dilaksanakan oleh para abdi dalem. Seiring waktu, masyarakat juga bisa turut serta dalam ritual ini.
Sumber lain menyatakan bahwa Mubeng Beteng merupakan tradisi asli Jawa yang berkembang pada abad ke-6 sebelum Kerajaan Mataram Hindu, seperti dilansir dari laman Wisata Budayaku Sekolah Vokasi UGM. Tradisi Jawa ini disebut muser yang berarti mengelilingi pusat, seperti sentra desa tertentu.
Sumber sejarah lain mengatakan, Mubeng Beteng merupakan tradisi Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram membangun benteng mengelilingi keraton.
Benteng itu selesai dibangun tepat pada satu Suro penanggalan Jawa. Kemudian, para prajurit rutin mengelilingi benteng untuk menjaga dari ancaman musuh.
Setelah dibangun parit, tugas berkeliling benteng keraton digantikan oleh abdi dalem. Para abdi berkeliling sambil membacakan doa-doa dalam hati agar mereka diberi keselamatan.
Dalam tradisi Mubeng Beteng dikenal ritual Tapa Bisu, lantaran selama mengelilingi keraton, peserta kirab dilarang berbicara satu sama lain, alias membisu.
Mereka juga dilarang makan dan minum selama ritual berlangsung. Tapa Bisu merupakan simbol keprihatinan serta instropeksi masyarakat Yogyakarta dalam menyambut tahun baru.
Dalam Tapa Bisu, peserta melakukan intropeksi diri atas apa yang telah diperbuat selama setahun yang lalu. Kemudian, menjadi pengingat untuk memperbaiki diri di tahun yang akan datang.
Makna tradisi Mubeng Beteng?
Prosesi Mubeng Beteng terinspirasi oleh perjalanan hijrah Nubi Muhammad SAW dan sahabat, dari Mekkah ke Madinah, seperti dikutip dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tersebut penuh keprihatinan dan perjuangan di tengah gurun pasir yang panas. Peristiwa bersejarah dalam Islam tersebut menjadi pengingat masyarakat dalam menyambut tahun baru yang jauh dari hingar bingar.
Mubeng Beteng dilakukan secara hikmat, hening, dan senyap untuk momentum instropeksi dan refleksi diri selama satu tahun sebelumnya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, pihak Keraton Yogyakarta meniadakan tradisi Mubeng Beteng karena pandemi Covid-19. Untuk tahun ini, belum ada keputusan resmi mengenai pelaksanaan tradisi Mubeng Beteng.
https://travel.kompas.com/read/2023/07/10/105300827/mengenal-mubeng-beteng-tradisi-keraton-yogyakarta-menyambut-tahun-baru-islam-