Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (115): Mencari Identitas

Kompas.com - 12/01/2009, 07:32 WIB

          “Tidak ada yang seperti ini! Tidak ada yang bisa menandingi ini!” Wajahnya bersinar seperti orang yang menemukan harta karun setelah pencarian panjang di padang gurun.

Dari gayanya melakukan perjalanan, motivasinya, ketebalan budgetnya, Al bukan seorang backpacker. Tetapi bagaimana ia bisa kesasar dalam losmen sempit di mana sepuluh orang turis miskin dijejalkan dalam satu kamar? Itu pun bagian dari pencariannya. Berdasar buku panduan yang ia baca, losmen tempat kami menginap ini adalah tempat terbaik untuk bertukar informasi tentang pertunjukan qawwali dan malam Sufi.

Tetapi ia tak betah.

          “Tak pernah aku tinggal di tempat semenderita ini,” keluhnya, berbisik-bisik dengan saya yang tiba-tiba menjadi teman curhatnya.

Di tengah ‘penderitaan’-nya, Al masih menyempatkan diri untuk mencicip sedikit kesenangan dan kemewahan. Saya diajaknya ke sebuah restoran untuk menikmati sizzler, makanan Barat yang pertama kali saya incip seumur hidup saya. Restoran ini katanya tempat orang kalangan atas Lahore bersantap. Suasananya remang-remang. Semua yang datang tipe-tipe parlente. Kaum perempuan pun berpakaian gemerlap dan rambut tergerai. Sungguh kontras dengan pemandangan Lahore yang awut-awutan, rumah kumuh, gemuruh rickshaw yang selevel dengan bajaj Jakarta dan tukangnya berbaju kumal, atau pedagang buah-buahan di pinggir jalan.

Di sisi lain, Al adalah orang yang sangat membumi. Tak segan-segan ia berbicara dengan sopir rickshaw, penjaga warung di pinggir jalan, pedagang pisang, satpam, bocah penjual jus, mempraktekkan bahasa Urdunya yang pas-pasan. Semua orang ditanya pertanyaan yang sama, apakah baju shalwar dan kamiz-nya sudah membuatnya persis orang Pakistan, apakah peci yang dipakai, selimut yang dilingkarkan di pundak, sudah membuatnya tak beda dengan penduduk asli negeri ini.

           “Accha. Bohut accha hai.. Bagus sekali,” puji sopir rickshaw.
           “Bhai jan, men Musliman hun. Saudara, aku ini Muslim. Aku orang Pakistan,” Al dengan sangat bangga melanjutkan pembicaraan. 
          “Mashallah. Masya Allah,” sopir rickshaw terperangah, lalu tanpa henti memuji

Al, lahir dan besar di Inggris. Keluarganya tergolong kaya, punya rumah mewah di Eropa dan Amerika. Walaupun keturunan Pakistan, Al tak bisa membaca huruf Urdu dan Arab. Kalau dulu ditanya tentang identitasnya, pastilah ia menjawab ‘Inggris’ terlebih dahulu sebelum ‘Pakistan’. Tetapi kini, betapa bangga ia menyebut dirinya sebagai Pakistani, dan ia dengan gembira memperkenalkan dirinya, “I am a Muslim.”
 
Belakangan ini ia tergila-gila untuk belajar lebih dalam tentang Islam, agamanya sendiri, agama orang tua dan sanak saudaranya. Ia seperti orang yang baru saja menemukan dirinya kembali, yang selama ini tersembunyi di bawah tumpukan lembar-lembar kepribadian. Selama di Pakistan ia rajin memburu buku-buku bacaan, termasuk buku anak-anak tentang sejarah para nabi.

Al tak tahu sama sekali bacaan doa dalam bahasa Arab. Ketika bersembahyang, ia duduk saja di kursi, menunduk. Saya bertanya kalau bukan bahasa Arab, lalu bahasa apa yang ia ucapkan.           

          “Bahasa Inggris, tentu saja,” jawabnya, “orang tidak perlu bisa bahasa Arab untuk jadi Muslim.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com