Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (169): Selamat Tinggal Noraseri

Kompas.com - 30/03/2009, 07:41 WIB

Mentari pagi menyembulkan sinarnya di balik barisan pegunungan Kashmir. Puncak tinggi Nanga Parbat berdiri gagah penuh aura misteri. Lekukan kurva sambung menyambung ke seluruh penjuru. Permadani hijau membungkus bumi. Kashmir menyambut datangnya musim panas.

Tetapi justru di saat inilah saya harus meninggalkan Noraseri. Tujuh minggu di kamp sukarelawan berlalu begitu cepat. Saya teringat, di bawah rintik hujan ketika saya pertama kali datang, dikenalkan dengan belasan wajah-wajah dan nama-nama baru, berkelap-kelip di bawah sinar lampu minyak.

Para sukarelawan yang masing-masing punya cerita unik. Ada juru masak yang telur gorengnya luar biasa nikmat di pagi yang dingin, yang berkisah tentang hidup di Yunani dan bagaimana beriman sepenuhnya. Ada yang suka mengajukan pertanyaan tanpa henti, sepanjang hari, membawa berbagai topik diskusi berat. Ada permainan kriket di sore yang cerah. Ada yang serius mengerjakan tugas-tugas di kegelapan malam hanya dengan sinar lampu petromaks. Ada lantunan naat di kemah, dengan penduduk desa yang datang berkerumun.

Saya teringat betapa susahnya jalan naik turun gunung untuk melakukan survey di bawah guyuran hujan, melintasi tebing curam dan becek, atau lereng terjal berbalut pasir dan kerikil licin yang bisa longsor setiap saat. Betapa indahnya senyum penduduk desa kala kami membagikan lembaran CGI sheet untuk atap dan tembok. Rumah-rumah permanen bermunculan di lereng gunung, menandakan harapan yang bangkit kembali dari puing-puing kehancuran. Gedung sekolah dan apotik sederhana pun sudah berdiri, mengusung kembali impian yang pernah terjerembab.

Angin musim semi yang dingin menerpa wajah saya. Lapangan ini, tempat saya melewatkan minggu-minggu yang berlalu bak terbang, memainkan kembali semua kenangan manis di Noraseri. Rintik hujan yang dalam acara penguburan Haji Sahab, canda Dokter Sahab yang mengaku sebagai teman Sukarno, pemuda-pemuda desa yang rajin memeluk dan bertukar canda tanpa makna, Basyir Sahab dan istrinya yang sudah menganggap saya anak sendiri, pernikahan dengan isak tangis pengantin yang tersembunyi di balik tandu, hingga desa para petarung ganas.

Semua kini tinggal kenangan. Perkemahan kami sudah kosong. Yang tersisa adalah tanah lapang dengan garis-garis bekas tenda di atas rumput. Tak lama lagi, garis-garis ini pun akan lenyap, berganti dengan hijaunya rumput, dan kelak, susah membayangkan bahwa pernah ada perkemahan kami di sini.

Di kala musim mulai bersahabat saya malah harus meninggalkan desa ini, yang kata Farman sudah menjadi rumah kedua saya. Berat sekali rasanya.

Saya berangkulan dengan Pak Dokter Zaman yang jenggot putih lebatnya tak akan pernah pupus dari ingatan saya. “Jangan lupa, peci hitam ala Sukarno ya,” bisiknya.

Perpisahan dengan Pak Basyir lebih mengharukan lagi. Mudassar, putranya, bercerita kalau semalaman ibunya menangis karena tahu saya akan pergi dari Noraseri, mungkin untuk selamanya. Bu Basyir menganggap saya sebagai pengganti bayinya yang bermata sipit yang meninggal dalam gempa. Beliau sedih sekali karena saya tidak sempat menginap di rumah mereka. Waktu saya mengucap salam perpisahan, Bu Basyir menangis.

Air mata ibu itu mengingatkan saya pada ibu kandung saya di Indonesia, ketika melepas saya yang bersekolah di negeri seberang. Tetesan air mata ibu yang membuat saya selalu teringat akan rumah, kampung halaman, akar saya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Angkringan Timbangan Tebu di Yogyakarta yang Hits dan Wajib Dikunjungi

Angkringan Timbangan Tebu di Yogyakarta yang Hits dan Wajib Dikunjungi

Jalan Jalan
JAB Fest Kombinasikan Seni dan Literasi, Dipercaya Dongkrak Wisatawan Minat Khusus di DIY

JAB Fest Kombinasikan Seni dan Literasi, Dipercaya Dongkrak Wisatawan Minat Khusus di DIY

Travel Update
8 Oleh-oleh Khas Gorontalo, Ada Kopi hingga Kain

8 Oleh-oleh Khas Gorontalo, Ada Kopi hingga Kain

Jalan Jalan
Rencana Pemindahan Lukisan Mona Lisa, Apa Masih di Louvre?

Rencana Pemindahan Lukisan Mona Lisa, Apa Masih di Louvre?

Travel Update
5 Pusat Oleh-oleh di Makassar, Bawa Pulang Makanan atau Kerajinan Tangan

5 Pusat Oleh-oleh di Makassar, Bawa Pulang Makanan atau Kerajinan Tangan

Jalan Jalan
6 Hotel Murah di Cilacap, Tarif mulai Rp 194.000

6 Hotel Murah di Cilacap, Tarif mulai Rp 194.000

Hotel Story
5 Tips Liburan dengan Open Trip yang Aman dan Menyenangkan

5 Tips Liburan dengan Open Trip yang Aman dan Menyenangkan

Travel Tips
3 Juta Wisatawan Kunjungi Banten Saat Libur Lebaran 2024, Lebihi Target

3 Juta Wisatawan Kunjungi Banten Saat Libur Lebaran 2024, Lebihi Target

Travel Update
Cara Menuju ke Wisata Pantai Bintang Galesong, 1 Jam dari Makassar

Cara Menuju ke Wisata Pantai Bintang Galesong, 1 Jam dari Makassar

Jalan Jalan
The 2nd International Minangkabau Literacy Festival Digelar mulai 8 Mei

The 2nd International Minangkabau Literacy Festival Digelar mulai 8 Mei

Travel Update
Wisata Pantai Bintang Galesong, Cocok untuk Liburan Bersama Rombongan

Wisata Pantai Bintang Galesong, Cocok untuk Liburan Bersama Rombongan

Jalan Jalan
Padatnya Wisatawan di Bali Disebut Bukan karena Overtourism

Padatnya Wisatawan di Bali Disebut Bukan karena Overtourism

Travel Update
Kunjungan Wisata Saat Lebaran 2024 di Kabupaten Malang Turun, Faktor Cuaca dan Jalan Rusak

Kunjungan Wisata Saat Lebaran 2024 di Kabupaten Malang Turun, Faktor Cuaca dan Jalan Rusak

Travel Update
Kemenparekraf Tegaskan Bali Belum Overtourism, tapi...

Kemenparekraf Tegaskan Bali Belum Overtourism, tapi...

Travel Update
Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta Akan Buka Kembali Juni 2024

Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta Akan Buka Kembali Juni 2024

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com