SEMARANG, KOMPAS.com - Pakar tata kota Prof Eko Budihardjo menilai, semakin banyak arsitek Tanah Air mencontek gaya bangunan dari luar negeri, terutama Barat, sehingga keunikan arsitektur lokal makin tersisih.
"Iklim, budaya dan tatanan sosial kita sangat berbeda dengan Barat. Mengapa kita tidak lebih banyak mengangkat keunikan dan kekayaan arsitektur lokal," katanya di Semarang, Minggu (7/6).
Eko mengungkapkan kerisauannya tersebut menjelang purnatugas sebagai pegawai negeri sipil pada jurusan arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. Untuk menyambut purnatugas Eko, di kampus universitas itu di Tembalang pada Selasa dijadwalkan diskusi bertajuk "Arsitek Sastra-Matra" dan baca puisi serta pergelaran seni.
Ia menyebutkan, bangunan Grand Indonesia, Plasa Senayan dan bangunan modern lain di perkotaan, misalnya, tidak memasukkan sentuhan asritektur lokal dan sangat boros energi, sebab suhu ruangan hanya mengandalkan pengatur suhu udara.
Bangunan di gugus perumahan, kata mantan Rektor Universitas Diponegoro itu, juga sama, karena meniru gaya arsitektur dari luar, yang iklim, keadaan masyarakat dan budayanya sangat berbeda.
Menurut dia, arsitektur lokal, seperti, joglo, limasan, dan rumah gadang, sangat pas untuk bangunan rumah di daerah tropika, karena memberi cukup pertukaran udara.
"Kompleks perumahan mewah ’real estate’ secara fisik mewah, tapi secara sosial sangat kumuh, karena penghuninya tidak mengenal tetangga dekat dan tidak ada ruang terbuka untuk sosialisasi," katanya.
Ia memberi contoh, dalam banyak bangunan bergaya Barat jarang ditemui teras, padahal, dari ruang terbuka di bagian depan rumah itu, penghuninya bisa saling bersapa dengan tetangganya.
Bangunan modern, yang mengabaikan keunikan dan kekayaan lokal, kata Eko, menyebabkan kohesi sosial antarpenghuninya sangat lemah. Di pasar tradisional, katanya, pembeli dan penjual bisa saling bertegur-sapa dan warga di perkampungan juga bisa saling berbagi.
Bangunan rumah bergaya Barat juga tidak cukup menyediakan ruang terbuka untuk mengalirnya angin dan udara dari luar. "Membangun mal atau rumah mewah memberi imbalan besar bagi arsitek, tapi arsitek harus memahami bahwa di balik bangunan ada persoalan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat," katanya.
Eko mengingatkan arsitek tidak melacurkan profesinya dengan menutup mata atas masalah sosial, budaya dan ekonomi, yang mencuat akibat bangunan baru berdiri. Menurut dia, wajah perkotaan di Indonesia bersifat mendua, yakni mewakili modernitas dan tradisional, namun yang modern tidak boleh menghancurkan yang tradisional.
"Pertumbuhan berlanjut mal, ’department store’ dan ’hypermarket’ membahayakan toko kecil dan pedagang kakilima. Toko kecil dan pedagang kakilima kalah bila modal besar itu, yang diperoleh dari utang, dibiarkan tanpa kendali dari pemerintah," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.