Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menunggu Pesta Dewi Anjani Usai

Kompas.com - 18/12/2011, 17:24 WIB

Sejak kami tiba di pos terakhir sebelum menuju puncak Rinjani, 28 September lalu, angin kencang menderu tak berkesudahan. ”Di puncak ada ’acara’. Angin kencang ini tidak akan berhenti jika ’acara’ itu belum selesai,” ujar Saidi.

Haji Purnipa (65), ayah Saidi, sekaligus pemimpin rombongan pendaki tradisional itu, meminta putra bungsunya kembali berdoa, meminta izin pendakian ke puncak.

Saidi kembali terpekur dalam diam. Matanya terpejam, tetapi kelopaknya berkedut-kedut cepat, seperti dahan-dahan cemara yang diamuk angin malam itu. Lalu dia berkata dengan tegas, ”Kalau besok pagi jam 04.00 baru bisa. Kalau malam ini tidak bisa. Jam 02.00 ini tetap tidak bisa.”

Ucapan Saidi itu memupus peluang menikmati puncak Rinjani menjelang matahari terbit. Namun, untuk menghormati kepercayaan warga Sembalun Bumbung itu, pendakian akhirnya ditunda.

Sepanjang malam itu, angin menderu kencang memukul tenda. Kami hanya bisa menunggu. Hingga pukul 04.00 kami bersiap mendaki puncak Rinjani. Angin masih menderu, tetapi sedikit reda. Saidi dan Purnipa memberikan restu.

Udara dingin membekukan saat kaki melangkah menyusuri jalan setapak menuju puncak Rinjani. Jalur terjal dengan kemiringan hampir 60 derajat langsung menghadang. Jalur sempit itu merupakan alur air.

Kerikil bercampur pasir di sepanjang jalur pendakian menguras tenaga pada awal pendakian menuju punggungan. Langkah kaki berkali-kali melorot saat menginjak pasir sedalam mata kaki.

Tertatih kami mencapai punggungan terbuka di ketinggian hampir 3.000 mdpl. Punggungan itu merupakan sisi timur bibir kaldera Rinjani. Di balik punggungan itu terhampar Danau Segara Anak dengan kerucut Gunung Api Barujari di sebelah timurnya.

Punggungan tipis dengan jurang menganga di kiri-kanan itu semakin terjal. Kaki berpijak pada kerikil dan pasir lepas. Di tengah jalan, kami berpapasan dengan 15 pendaki mancanegara yang kembali turun dan mengurungkan perjalanan ke puncak. Wajah mereka memancarkan keletihan.

Mereka sebenarnya berangkat lebih dahulu, tetapi tertahan karena angin sangat kencang dan jalur tertutup kabut tebal. Debu yang teraduk angin memerihkan mata. Lelah menunggu cuaca membaik, mereka akhirnya memilih turun.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com