Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tambulun Saiyo, Benteng Kesenian Pesisir Selatan

Kompas.com - 07/06/2013, 14:43 WIB

Inir mengatakan, terbentuknya sanggar itu terutama juga terjadi atas prakarsa pasangan Abdul Muis dan Yulidar. Muis dan Yulidar sebelumnya tinggal di Jakarta dan kembali ke kampung itu sejak 2000.

Selain tari piring, sanggar yang dibentuk guna menghidupkan lagi sejumlah kesenian tradisional di kawasan tersebut dengan sejumlah pakem lama yang dipertahankan itu juga melatih beberapa jenis kesenian lain. Jenis kesenian itu di antaranya jenis kesenian tari piring tradisional, tari ratok gadih basanai, dan tari selendang.

Adapun nama Tambulun Saiyo merujuk pada keberadaan sumber air di dekat perkampungan itu yang berasal dari kawasan perbukitan. Sumber air yang terjun menuruni perbukitan tersebut menjadi semacam urat nadi masyarakat karena dipergunakan untuk sumber air minum, pengairan sawah, dan kebutuhan hidup lainnya.

”Sebelum sanggar ini terbentuk, beragam seni tradisi di kawasan ini memang masih dimainkan, tetapi seolah-olah tidak ada,” kata Mardianton.

Hal itu disebabkan aneka seni tradisi tersebut yang hanya dipentaskan saat ada permintaan tertentu. Tidak ada latihan rutin yang dilakukan para pelakunya. ”Tempat para pelaku aktivitas kesenian tersebut juga berpindah-pindah,” tutur Mardianton.

Padahal, imbuh Mardianton, animo masyarakat untuk menyaksikan seni tradisi terbilang masih relatif tinggi. Berbagai pementasan di sejumlah kegiatan yang dilakukan anggota sanggar itu di tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi menjadi bukti.

Hal itulah, di antaranya, yang membuat anggota sanggar tersebut tetap berusaha menampilkan wajah kesenian daerah mereka pada jejak tradisinya. Sekalipun tidak bisa dimungkiri, tekanan untuk memasukkan unsur pop atau kreasi baru dalam seni tradisi tersebut juga terjadi dengan relatif kuat.

Mardianton menyebutkan, tekanan itu terutama kerap terjadi saat anggota sanggar mengikuti sejumlah festival terkait kesenian, misalnya tuntutan agar durasi penampilan yang mesti diperpendek. Ini terkait dengan kecenderungan sebagian masyarakat yang lebih praktis sehingga waktu untuk menikmati kesenian relatif berkurang.

”Namun, dalam beberapa kali festival, kami tetap mempertahankan kesenian sesuai tradisi yang ada sekalipun ada protes dari peserta lain,” katanya.

Menurut Mardianton, sesungguhnya unsur-unsur kreasi baru tersebut bisa saja dimasukkan sesuai dengan kebutuhan sebagian masyarakat saat ini. Namun, hal itu masih terkendala pada keterbatasan alat-alat musik yang dimiliki.

Hingga saat ini, setiap kali latihan, kelompok kesenian itu hanya menggunakan gandang, rabab, serunai, dan rebana. ”Padahal, untuk menghasilkan karya seni kreasi, kami membutuhkan alat musik lain, seperti talempong,” ujar Mardianton.

Selain itu, masih dibutuhkan latihan tertentu sebelum bisa menguasai penggunaan instrumen musik tersebut. Akan tetapi, ia menambahkan bahwa untuk konsumsi tontonan sebagian masyarakat acara kerakyatan, kesenian dengan pakem tradisi yang ketat masih lebih diminati.

Nina Rianti, yang juga seorang seniman, menambahkan, saat ini penyesuaian dengan unsur baru menjadi keniscayaan yang mesti dilakukan pada beragam bentuk kesenian tradisi. Pasalnya, jika hal itu tidak dilakukan, masyarakat yang hidup di tengah konteks zaman modern kemungkinan akan enggan menikmati kesenian tersebut.

Akan tetapi, imbuh Nina, penyesuaian dengan unsur kreasi baru itu mesti dilakukan tanpa merusak inti seni tradisi yang ada berupa semangat dan ruh yang menghidupinya. Misalnya, imbuh Nina, untuk pementasan tari piring tradisional di nagari itu, yang menjadi kekuatan ialah tiupan nada-nada dari instrumen serunai. ”Tantangannya ialah bagaimana menampilkan kesenian berbasis tradisi, tetapi unsur kreasi tetap ada,” kata Nina. (Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com