Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari "Embongan" ke Gedongan

Kompas.com - 27/09/2013, 11:39 WIB

Kalau dimakan orang Surabaya, komentar yang muncul memang hampir pasti ”jancuk”, karena rasanya yang amat-sangat pedas, dengan rasa terasi yang sangat kuat, tetapi lezat. Menyantap nasi goreng dengan irisan telur dadar yang besar-besar itu memang serasa bercakap (buat yang tak terbiasa dengan orang Surabaya mungkin menganggapnya berdebat!) dengan orang Surabaya. Tanpa basa-basi, langsung mendedah inti rasa, pedas yang galak.

”Jangan kaget kalau di restoran kami tiba-tiba mendengar orang memaki ’jancuk’,” kata Yusak.

Menurut dia, sejak diperkenalkan tahun 2010, nasi goreng yang memancing makian itu membuat nuansa Surabaya di hotelnya kian semarak dan kental.

”Uniknya, banyak pejabat membanggakan nasi goreng kami, dan memesan untuk disajikan dalam acara-acara resmi mereka. Kunci sukses menu itu juga karakter orang Surabaya. Makin dilarang dan diberitahu kalau nasi goreng itu pedas, orang semakin ingin segera mencicipinya,” kata Yusak.

Hotel baru seperti Artotel Surabaya pun tak mau kalah menyajikan makanan khas Surabaya. Dengan modifikasi menu yang lebih konservatif, Artotel menjadikan menu tahu campur berbumbu petis sebagai sajian terpilih di restoran mereka. Ini berbeda dengan kecenderungan lama hotel di Surabaya, yang rata-rata memilih aman dengan menghadirkan rawon yang tak berbumbu petis.

”Tentu saja kami juga menyediakan rawon, atau soto ayam khas Jawa Timur, juga punya ’nasi goreng koko marah’ berporsi besar. Namun, petis dengan karakter rasanya memang menantang kemampuan untuk menciptakan petis dengan rasa yang lebih mudah diterima di lidah para tamu hotel. Petis madura yang kami pakai diimbuhi petis ebi olahan kami sendiri,” kata Yatija, Assistant Restaurant Manager di Artotel Surabaya.

WWW.REKOMENDASI.ME Nasi rawon.
Yatija pun menyebut, sejak hotelnya dibuka pada tahun 2012, tahu campur menjadi salah satu menu andalan. ”Yang unik, yang justru sangat mengapresiasi adalah para wisatawan Eropa. Kami pun tertantang mengolah ulang berbagai makanan Surabaya yang juga berbumbu petis,” kata Yatija.

Menyalin yang ”embongan” agar jadi ”gedongan” memang menjanjikan kelezatan tanpa harus berbecek-becek atau berbau-bau. Pemburu kuliner sejati bisa jadi lebih nyaman dengan suasana makan ”suroboyoan” di jalan berdebu dan bising, atau menyerbu pasar yang riuh dengan segala bau dan suasananya. Namun, jelas, ”embongan” di mal dan hotel pun punya pangsanya sendiri. (Aryo Wisanggeni dan Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com