Di atas kertas, Indonesia memang sudah jauh meninggalkan Jepang. Namun, jangan cepat berpuas diri mengingat Jepang sedang gencar menyukseskan program wisatawan Muslim, tentunya lengkap dengan sertifikasi halal. Jika Indonesia hanya berupaya meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegaranya secara ”konvensional” , bukan mustahil langkahnya akan terhenti di angka yang sudah diraih saat ini.
Menurut Dananjaya Axioma, Director Tourism and Exchange Division ASEAN-Japan Centre, pada tahun 2012, Jepang memang baru bisa mendatangkan sekitar 100.000 wisatawan asal Indonesia ke negerinya. ”Akan tetapi, pada semester pertama tahun 2013 ini Jepang sudah berhasil meraih peningkatan kedatangan wisatawan Indonesia sebesar 50,1 persen, menjadi 65.200 orang,” kata Danan. ASEAN-Japan Centre yang digelutinya merupakan pusat promosi perdagangan, investasi, dan pariwisata ASEAN.
Bagaimana dengan Indonesia? Selama Januari hingga Juli 2013, kunjungan wisatawan Jepang ke Indonesia hanya meningkat 9,5 persen dari tahun sebelumnya. Itu pun peningkatan dari kunjungan wisatawan Jepang yang menurun cukup tajam pada tahun 2012.
Sebagaimana dikemukakan Nia Niscaya, Direktur Promosi Pariwisata Luar Negeri pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sebelumnya Indonesia sudah meraih lebih dari 600.000 wisatawan Jepang per tahun. Namun, akibat krisis ekonomi dan musibah tsunami yang melanda Jepang, pada tahun 2012 jumlah kunjungan wisatawan Jepang ke Indonesia tinggal sekitar 445.000 orang.
”Jepang, yang sebelumnya menduduki posisi keempat dalam kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia, akhirnya beralih ke posisi kelima setelah Singapura, Malaysia, Australia, dan China. Posisi Jepang digantikan China,” ujar Nia.
Dalam konteks itulah, lanjut Nia, Indonesia ikut pameran pariwisata internasional JATA Travel Showcase 2013 di Tokyo, Jepang. ”Kali ini, sejumlah daerah pun kami rangkul untuk turut mempromosikan obyek wisata mereka. Selain Bali, yang bisa dikatakan sudah sangat dikenal masyarakat Jepang, daerah yang turut serta dalam pameran akhir tahun ini adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Riau, dan Raja Ampat,” papar Nia, di sela-sela kesibukannya mengikuti pameran tersebut di Tokyo Big Sight, pertengahan September lalu.
”Kami berharap bisa menarik lebih banyak wisatawan Jepang ke Indonesia. Tidak hanya untuk berkunjung ke Bali, tapi juga ke daerah lain di Nusantara. Beyond Bali deh... dan wisatawan bisa tinggal lebih lama di Indonesia,” kata Nia penuh semangat.
Ia optimistis kunjungan wisatawan Jepang bisa segera membaik. ”Selama Januari hingga Juli 2013 setidaknya sudah lebih dari 300.000 wisatawan Jepang yang berkunjung ke Indonesia, meningkat sekitar 9,5 persen dari tahun 2012,” kata Nia lagi.
Menurut catatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, wisatawan asal Jepang sudah mulai banyak yang berlibur ke DI Yogyakarta dan berlanjut ke Jawa Tengah. Selain itu, banyak pula yang senang bermain golf di Jakarta dan Riau. Itulah sebabnya, DIY, Jateng, Riau, dan DKI Jakarta turut serta di pameran yang diikuti lebih dari 100 negara, ribuan industri pariwisata, dan ratusan ribu pengunjung tersebut.
”Sudah cukup banyak wisatawan asal Jepang yang mengetahui bahwa bermain golf di Jakarta atau Indonesia itu jauh lebih murah daripada di negara mereka sendiri. Karena itu, beberapa rekan kami dalam satu tahun bisa ke Jakarta sampai tiga kali untuk berlibur sekaligus bermain golf,” ujar Hari Wibowo dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, yang pada pameran itu memimpin delegasi dari Jakarta.
Menggembirakan
Selama pameran berlangsung, 12-15 September 2013, peserta pameran dari Indonesia umumnya mengaku puas akan hasil yang diraih. Khususnya peserta yang berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat; Raja Ampat, Papua Barat; dan Adventure Indonesia, yang menawarkan paket perjalanan ke berbagai penjuru Nusantara.
Klasina Rumbekwan dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Raja Ampat serta Monty Sorongan, pemilik Adventure Indonesia, menyatakan hal serupa. Keduanya juga mengaku berhasil membuat kerja sama dengan sejumlah agen perjalanan baru di ”Negeri Sakura” itu. ”Banyak juga pengunjung (perseorangan) yang menyatakan berminat untuk liburan ke Raja Ampat,” ujar Klasina.
Ia mengaku sengaja mengikuti pameran pariwisata internasional, seperti di Tokyo, ini mengingat selama ini keikutsertaan Kabupaten Raja Ampat dalam beberapa pameran pariwisata di sejumlah negara lain telah membuahkan hasil yang sangat baik.
”Peningkatan wisatawan mancanegara ke Raja Ampat sangat menggembirakan. Jika sebelumnya hanya sekitar 80 orang, terakhir (2012), setelah mengikuti berbagai pameran di luar negeri, mencapai sekitar 500 orang per tahun,” paparnya.
Paket perjalanan ke Raja Ampat, yang dikenal memiliki keindahan bawah laut yang luar biasa itu, lumayan mahal. ”Berkisar antara Rp 30 juta sampai Rp 40 juta untuk dua minggu. Harga itu termasuk penginapan, wisata dan antar-jemput Sorong-Raja Ampat,” ujar Klasina, seraya menambahkan, belakangan ini juga sudah mulai banyak wisatawan asal Jepang yang berlibur ke Raja Ampat.
Perlu pembenahan
Meski fakta-fakta di atas relatif menggembirakan, Indonesia tampaknya masih dituntut untuk terus berbenah diri. Untuk meraih minat wisatawan Jepang saja, misalnya, banyak hal yang harus diperhatikan, bahkan dibenahi.
”Wisatawan asal Jepang yang dinilai berpotensi itu umumnya perempuan dewasa, yang sebagian besar sudah masuk kelompok lanjut usia (lansia). Mereka dikenal sangat murah hati untuk mengeluarkan uang, baik untuk membeli kebutuhan hidup maupun buah tangan,” kata Danan, yang beberapa tahun terakhir ini menetap di Tokyo.
Mereka, lanjut Danan, umumnya memiliki uang yang cukup untuk liburan panjang di Indonesia. ”Biaya hidup mereka untuk satu minggu di Jepang bisa dinikmati untuk bersenang-senang di Indonesia sekitar satu bulan,” katanya.
Menurut catatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, hingga kini belum ada industri yang berkiprah di sektor itu. Artinya, Indonesia belum bisa menggarap wisatawan Jepang yang lansia secara optimal.
Satu hal yang juga tampaknya perlu dipertimbangkan adalah pemasaran pariwisata yang lebih fokus, jangan terlalu melebar. ”Thailand, misalnya, mereka fokus di bidang peningkatan lama tinggal wisatawan,” papar Danan.
”Indonesia juga mungkin bisa membuat paket perjalanan yang lebih jitu. Seperti, membuka penerbangan Manado (Sulawesi Utara)-Fukuoka. Perjalanan itu, di samping penerbangannya tidak terlalu lama, sekitar empat sampai lima jam, juga ada kedekatan budaya,” kata Danan.
Hiroto Hasegawa dari The Sanken Shimbun mengemukakan, promosi pariwisata Indonesia sebaiknya juga tidak hanya dilangsungkan di pameran-pameran internasional, seperti di Tokyo Big Sight itu saja. ”Harus ada kesinambungan,” katanya.
Apalagi, kata Hiroto, jika mengingat China dan Taiwan sekarang ini gencar menarik wisatawan asal Jepang. ”Kehidupan di China dan Jepang dikenal sangat murah. Karena itu, wisatawan Jepang belakangan ini juga banyak yang berlibu ke sana,” tambahnya.
Saat pameran berlangsung, beberapa remaja yang ditemui Kompas mengaku mengenal Indonesia. Namun, mereka umumnya belum memprioritaskan liburan ke Indonesia. ”Tahun ini kami akan berlibur ke Spanyol. Setelah itu ke Taiwan. Indonesia.., mungkin setelah itu,” kata Kumi dan Kana dengan tawa lepasnya.
Ringkasnya, harus ada political will lebih dulu, di samping peningkatan komunikasi dan koordinasi. Hal ini, khususnya, komunikasi dan koordinasi antara daerah dan pemerintah pusat serta industri pariwisata.
Tanpa itu semua, Indonesia—di sektor pariwisata—hanya bisa bangga akan kekayaan negerinya, tanpa mampu menikmatinya secara optimal. (Fandri Yuniarti)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.