Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nepal, Negeri Seribu Dewa

Kompas.com - 03/10/2013, 16:07 WIB

Perpaduan antara seni dari wilayah utara dan filosofi mitologi dari wilayah selatan, karya seni yang sudah berusia ratusan tahun, serta kekayaan arsitektur dan budaya yang unik merupakan warisan budaya yang bisa kita nikmati di Bhaktapur. Contohnya, pagoda dan candi Shikhar, biara Buddha tradisional seperti Vihars dan Bahis, serta bermacam arca batu termasuk Siddhi Laxmi yang merupakan candi batu dua singa raksasa juga masih berdiri tegak.

Kita bisa berjalan perlahan menikmati beberapa candi di kompleks Bhaktapur Durbar sambil berinteraksi dengan masyarakat lokal yang duduk-duduk di pinggir gang-gang di kota tua itu. Kota yang berdinding terakota ini juga menyimpan keunikan lain. Meskipun tua, di beberapa sudut kota terpampang iklan sekolah-sekolah internasional, mulai dari SD hingga SMA.

Rupanya, warga Nepal pun tak mau ketinggalan dengan derap kemajuan zaman. Banyak orangtua mengirim anak-anak mereka ke sekolah internasional yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris agar anak-anak mereka bisa berkomunikasi dengan banyak turis asing yang mengunjungi Nepal.

Dari Bhaktapur, jika ingin melihat pemandangan sawah terasering dan barisan gunung di Himalaya, Anda bisa naik ke Nagarkot yang berjarak 32 kilometer dari Kathmandu. Nagarkot masih berada di Distrik Bhaktapur di zona Bagmati. Dengan ketinggian 2.195 meter di atas permukaan laut, Nagarkot menjadi area di wilayah Bhaktapur dengan pemandangan alam yang cantik. Ada delapan dari 13 puncak gunung berselimutkan salju di Himalaya yang bisa Anda pandang jika datang pada waktu yang tepat, Maret-April atau Oktober-November.

Phokara

Satu kota di Nepal yang juga menarik perhatian saya adalah Phokara. Terletak 200 kilometer di sebelah barat Kathmandu, Phokara yang berada tepat di kaki Gunung Annapurna ini bisa ditempuh dalam waktu 7 jam menggunakan bus turis. Jika menumpang pesawat terbang, waktu tempuh cuma 40 menit.

Saya memilih menggunakan bus turis biasa tanpa penyejuk ruangan yang tiketnya Rs 600 (sekitar Rp 60.000). Menurut saya, kita tak perlu menggunakan AC karena perjalanan Kathmandu-Phokara cukup nyaman.

Bus berhenti dua kali untuk memberikan kesempatan penumpang beristirahat, masing-masing setengah jam. Jendela bus bisa dibuka lebar, sambil menikmati pemandangan lembah, sungai, sawah terasering, dan gunung sepanjang jalan menuju Phokara. Perjalanan 7 jam pun tak terasa.

Di Phokara, kita bisa menghabiskan waktu dengan duduk melamun atau refleksi di tepi Danau Phewa atau Fewa, bahkan juga bisa ikut meditasi gratis di beberapa sanggar yoga dan meditasi. Tak cukup menantang fisik, silakan menyusuri jalan setapak ke Sarangkot, melihat deretan pegunungan salju barisan Annapurna Circuit (Maret-April dan Oktober-November), melihat Danau Phewa dari ketinggian sambil menyaksikan serunya puluhan turis terbang dengan paralayang yang terjun dari atas Sarangkot dan melayang-layang di atas danau.

Karena menyewa sepeda motor untuk berkeliling Phokara, saya lebih leluasa menjelajah. Tanpa sengaja ketika hendak menuju Kuil Bindabasini, sebuah kuil Hindu yang sangat terkenal di kalangan peziarah agama itu, saya bertemu dengan rombongan besar yang tengah merayakan Gaijatra, perayaan untuk memperingati keluarga yang meninggal.

Saat melaksanakan prosesi Gaijatra di jalanan, biasanya sebuah keluarga menuntun seekor sapi. Namun, jika tak mampu, anak-anak kecil pun akan didandani dengan kostum sapi.

Beberapa museum bisa dikunjungi, termasuk Museum Gorkha Memorial, Museum Wilayah Phokara, dan Museum Annapurna. Selain itu, ada juga Air Terjun Devi yang letaknya tak jauh dari Kamp Pengungsi Tibet Tashiling dan Biara Dragyling. Para pengungsi warga Tibet tersebut mengaku telah puluhan tahun berada di sana, bahkan sudah beranak pinak. Mereka membangun sendiri lokasi pengungsian tersebut dengan bantuan dana internasional. Pemerintah Nepal mendukung dengan menyediakan lahan.

”Saya dan adik-adik saya lahir di sini. Orangtua saya membangun sendiri rumah ini. Begitu juga keluarga saya yang lain, juga tetangga-tetangga saya, mereka membangun rumah mereka sendiri,” kata Tse Lhamo (27).

Setelah berbincang sejenak dan diizinkan melongok ke dalam rumahnya, Tse Lhamo menyarankan saya menuju Stupa Perdamaian Dunia yang terletak di atas bukit yang berseberangan dengan Sarangkot dan dipisahkan oleh Danau Phewa.

KOMPAS/ELOK DYAH MESSWATI Perayaan Gaijatra di Pashupatinath, Kathmandu, Nepal, untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.
Kunjungan ke stupa Buddha tak hanya di Phokara. Kembali ke Kathmandu, saya juga mengunjungi Stupa Bouddhanath yang merupakan salah satu stupa kuno terbesar di dunia. Lokasi stupa raksasa ini terletak di rute perdagangan kuno dari Tibet memasuki Kathmandu. Oleh karena itu, lokasi itu disebut ”Little Tibet”. Saat saya ke sana Agustus lalu, warga Buddha pun merayakan Gaijatra. Ribuan orang berjejalan mengelilingi stupa.

Begitu pun di Kuil Pashupatinath. Perayaan Gaijatra masih berlangsung di tengah beberapa keluarga yang sedang sibuk mengurus pembakaran jenazah anggota keluarga.

Tak ada yang abadi di muka bumi ini. Tinggal yang masih hiduplah yang mengirim serangkaian doa untuk keluarga yang meninggal agar jiwa mereka cepat mencapai nirwana. Dalam keriuhan perayaan Gaijatra, doa-doa pun dikumandangkan. (Elok Dyah Messwati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com