Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tilas-Tilas Nagi Tanah

Kompas.com - 25/12/2014, 16:13 WIB
SEKARANG saya tahu mengapa pulau ini dinamakan Flores! Claire berseru nyaring di antara desau angin. Kami mengendarai sepeda motor menuju Danau Asmara, sebuah telaga sunyi di kepala Nusa Bunga, sekitar 25 kilometer dari Larantuka. Pada sebuah titik teduh di tepi laut tanpa ombak, gadis asal Perancis yang menjadi tandem saya itu mencuci alas kakinya yang berlumpur.

"Kamu tahu? Daerah kami, Bretagne, di utara Perancis, memiliki suasana serupa tempat ini. Kesyahduan di mana-mana, laut tenang jernih, alam yang masih perawan terbingkai tradisi lokal yang mistis."

Ia mengikat rambut pirangnya. "Kecuali satu hal, di sini suhunya lebih hangat."

Saya mendengarkannya dengan diam, menikmati sapuan lembut angin pada kulit saya yang  berkeringat karena terbungkus jaket sedari tadi. Musim penghujan di awal tahun memberikan kesan tersendiri bagi perjalanan di sekitar Larantuka. Pohon-pohon Flamboyan memekarkan bunga merah menyalanya, antara hijau dedaunan dan birunya laut. Begitu mencuri perhatian. Apalagi di wilayah paling ujung bernama Tanjung Bunga. Barisan kanopi flamboyan menjatuhkan kelopak-kelopaknya seumpama perayaan musim gugur.

"Ya, agaknya saya juga tahu asal nama Flores," balas saya.

Banyak orang berspekulasi tentang nama Flores. Ada yang menyebut bahwa kata Flores yang berasal dari bahasa Portugis dan bermakna 'bunga-bunga' itu muncul sebagai sanjungan akan keindahan terumbu karang, bukan oleh kembang tanaman yang memang jarang ditemui di daratan.

Sayangnya, sedikit saja yang mau mengorek lebih dalam sejarah penamaan pulau ini. Pelayaran bangsa Portugis menuju Timor telah dimulai ketika Antonio de Abreu memimpin ekspedisi pada 1515. Dalam laporan pelayaran, Relatório da Navegação, yang disampaikan ke Melaka, Antonio menyebutkan bahwa mereka menyinggahi pulau dengan tanjung penuh bunga (cabo das flores) sebelum akhirnya berlabuh di Pante Macassar, Timor (dulu Vila Taveiro, kini disebut Oecussi). Pelayaran ini bermula dari Ternate, sebulan setelah hujan terus-menerus mengguyur daerah itu sejak malam pergantian tahun (véspera de ano novo).

Tak salah lagi, sebulan setelah malam pergantian tahun adalah bulan Februari. Dan itu merupakan saat klimaks pohon-pohon flamboyan bermekaran di sekitar Larantuka. Selang tiga dekade, SM Cabot menggunakan frasa 'Cabo das Flores' untuk mengidentifikasi tempat yang disebutkan Antonio. Frasa ini sebenarnya hanya ditunjukkan untuk wilayah timur pulau. Kemudian hari, tepatnya pada 1636, Hendrik Brouwer, Gubernur Jenderal Belanda, secara resmi memakai nama Flores sebagai denominasi seluruh bagian pulau, yang sejatinya bernama Nusa Nipa pada era kejayaan Majapahit.

Kami tidak bisa menyentuh air Danau Asmara. Telaga itu dibekap pepohonan lebat. Satu-satunya cara menikmatinya adalah melihat dari atas tebing yang melingkar seperti cincin. Area ini digaduhi monyet jenis Macaca fascicularis serta cicit unggas liar.
Kembali ke Larantuka, saya dan Claire menuju bagian kota bernama Weri, di sana Mama Guntilda akan mengajari Claire membuat kue rambut, penganan khas Flores Timur. Awal perkenalan dengan Mama Guntilda terjadi secara kebetulan tadi pagi di pasar kota. Perempuan paruh baya ini adalah pedagang kue. Melihat antusiasme Claire akan kue rambut, ia mengundang kami mampir ke rumahnya sore ini.

"Kue Rambut lebih sering disebut bolo kekera," Mama Guntilda memulai aksinya. Ia amat jenaka, dan selalu memungkasi kalimatnya dengan tawa. Claire sibuk memotret dan mencatat bahan-bahan kue. Tepung beras, gula aren, kanji, dan santan kelapa. Pembuatannya ringkas. Semua bahan dicampur hingga agak mengental. Lantas digoreng. Bentuk rambut didapatkan dari kaleng bekas yang sudah dibuat lubang-lubang kecil. Di situ adonan dituang, lalu disiram maju mundur ke dalam penggorengan. Sesegera mungkin ambil sendok untuk melipat kuenya. Tahap menyiram adonan kemudian melipat-lipat inilah yang membuat Claire kerepotan. Toh, dia berhasil juga, dan disambut tarian lucu Mama Guntilda.

"Kalau sudah pintar bikin kue rambut, artinya Oa siap berumah tangga," gurau Mama Guntilda yang disambut derai tawa seisi rumah. Di Larantuka, orang memanggil para gadis dengan sebutan 'Oa'.

Kami pulang ke penginapan membawa sekantung penganan. Hotel Asa, tempat tetirah kami, memiliki kamar inap yang unik berwujud kapal kayu, dibangun di tepi pantai. Kami mengantar perginya Matahari di atas boat-room tersebut, sembari menyeruput kopi, dan tentu saja mencicip kue yang kami bawa.

Valentino Luis Teluk kecil dekat Larantuka tempat kapal-kapal nelayan melepas sauh.
NAGI Tanah, demikianlah orang-orang menyebut Larantuka. Banyak ungkapan kalbu yang tertuang sebagai bentuk kecintaan kepadanya. Umumnya lewat lagu. Sebut saja, Bale Nagi, lagu klasik yang telah dinyanyikan dalam beragam versi, namun isinya sama, yaitu pernyataan rindu akan Larantuka.

Kebanyakan melodinya mirip lagu-lagu Manado atau Ambon, kendati beberapa tangga nada tak bisa menyembunyikan sentuhan ala musik pop Latin. Saat saya datang, warga tengah gandrung memperdengarkan tembang daerah Janji Ujung Aro, bersanding kidung berbahasa Portugis Não Precisa.

Kota ini sebetulnya kecil, tetapi elok dipandang. Letaknya menghadap ke selat sempit yang memisahkan Flores dengan pulau-pulau kecil berbukit. Di punggungnya menjulang gunung Ile Mandiri. Duduk-duduk sore di sepanjang garis pantai dekat patung putih Mater Dolorosa dan Kapela Tuan Ana yang berkupel perak mirip bawang, mampu menyeret siapa pun pada atmosfer yang beda.

Menyusuri lorong-lorong kota, saya menemukan tori, kapela pribadi, di halaman rumah penduduk. Sekitar 14 tori dibangun oleh 14 klan di Larantuka, diperuntukkan sebagai tempat doa. Masing-masing tori menyimpan pusaka berupa patung, serta gambar-gambar suci warisan turun-temurun.

Sudah bukan rahasia lagi, tidak sedikit orang-orang Larantuka yang merupakan keturunan Portugis pelarian dari Melaka. Pada masa lampau, mereka dijuluki mestizos, atau dalam ungkapan Melayu dinamakan mardikas. Sama halnya orang-orang di kampung Tugu, Batavia (Jakarta), mereka menyimpan tilas-tilas leluhurnya dengan baik.

Saya mengunjungi tori Nuestra Senhora de Esperansa milik suku Lamakera di Waibalun didirikan pada 1599 yang menyimpan patung kuno St. Antonius Padua, Tori Mesti di Kampu dengan salib dari gading kepunyaan suku Ribeiro (Riberu) da Gomez, Tori Tuan Trewa empunya suku Fernandez, dan Tori Lokea kepunyaan suku Kean Diaz.

Kota Larantuka punya beberapa julukan: Matahari Flores, karena letaknya paling timur dari semua kota di Flores, kemudian Roma Mini, lantaran di sini terdapat banyak kapela yang letaknya berdampingan satu dengan yang lain, dan yang paling populer yaitu Kota Rainha. Untuk julukan yang saya sebutkan terakhir ini, warga Larantuka memberi apresiasi istimewa. Rainha merupakan kata dalam bahasa Portugis yang berarti 'ratu', dan ditujukan kepada Bunda Maria.

Syahdan, sebelum agama Katolik dianut penduduk, perkenalan dengan Bunda Maria telah terjalin melalui peristiwa mistis. Ditemukannya patung Sang Ibunda Kristus yang terdampar menjadi indikator awal. Penduduk yang masih animis menganggap patung setinggi 160 sentimeter itu sebagai wujud keramat.

Kelak disadari bahwa itulah gambaran Bunda Maria saat pelaut Portugis berlabuh ke Larantuka. Dari sanalah keterkaitan warga dengan Bunda Maria terjalin. Patung itu dikenal luas dengan sebutan Tuan Ma, dan bersamaan dengan masuknya agama Katolik serta budaya Portugis, Tuan Ma menjadi bagian tak terpisahkan. Bahkan, menjadi identitas Larantuka.

Setiap tahun warga menggelar salah satu tradisi warisan Portugis, Semana Santa. Kegiatan ini dihelat menyongsong Hari Raya Paskah yang biasanya jatuh pada awal April. Sepekan penuh warga berkabung mengenang kesengsaraan Yesus.

Puncaknya, pada Hari Jumat yang mereka sebut Sesta Feira. Warga dan peziarah dari berbagai belahan bumi berkumpul, mengenakan pakaian serba hitam. Drama penderitaan Mesias pun dihadirkan, iring-iringan kapal melintasi selat membawa relik suci. Tuan Ma yang berparas sendu ditandu mengelilingi kota. Doa dan tangis membubung bersama dupa dan asap lilin. Seorang gadis akan tampil melantunkan syair pilu Tuan Ma, Si est dolor sicut dolor meus? "Adakah duka sebesar dukacitaku?

Valentino Luis Barisan Confreria de Rainha, kelompok rohani beranggotakan para kepala keluarga.
"EMPAT puluh ribu langsung berangkat," ujar pemungut karcis di dermaga mungil Pante Palo. Saya ingin menyeberang ke Adonara, pulau yang langsung berhadapan dengan Larantuka. Pulau ini hanya terpisahkan selat tak sampai 500 meter.

"Jika ingin menunggu sejenak dan berangkat dengan penumpang lain, harganya turun setengah. Itu untuk penumpang bersepeda motor. Tanpa kendaraan, cuma sepuluh ribu," lanjutnya. Nah, otomatis saya pilih opsi kedua. Rp 20.000, lebih hemat. Lagi pula saya menafsir penyeberangan ini berlangsung kurang dari tujuh menit.

Adonara adalah pulau vulkanik. Dataran tak seberapa lebar hanya ditemui di area pesisir. Ile Boleng, gunung setinggi 1.659 mdpl merupakan mahkotanya. Tahun ini Adonara nyaris saja lepas dari wilayah Flores Timur, membentuk kabupaten sendiri. Entah kenapa, akhirnya batal. Padahal, tidak sedikit warga yang bersorak senang, berharap status otonomi membawa perubahan.

Wisata di pulau seluas 509 kilometer persegi ini tampaknya baru dalam tahap pemetaan, sama sekali belum dikelola. Pantai-pantai bisa diandalkan, namun masih sebatas tempat berleha penduduk setempat. Saya menyukai Pantai Watotena yang berpasir putih. Bebatuan magmanya berformasi unik.

Penelusuran di Adonara pun menarik saya pada kisah eksplorasi penjelajah Eropa. Jalan lengang yang diapit pepohonan nyiur dengan daun menutupi langit adalah setting pas jika ingin berimaji tentang "pencarian dunia baru".

Kampung kecil bernama Wure nyata beraroma laut, tampil bestari oleh gereja-geraja mungil yang fondasi tambonya juga diprakarsai oleh para kelasi kapal Portugis. Sebuah salib Cruz de Aviz yang merupakan simbol Raja Portugal dari dinasti kedua terpancang di jalur ziarah tepi laut.

Pengalaman menggetarkan di Wure terjadi tatkala saya diantar untuk melihat patung kayu Kristus Berduka di kapela Cruz Costa. Berumur ratusan tahun, patung tersebut setinggi badan pria dewasa, rona sengsara penuh bilur, dan tatapan matanya begitu hidup tertuju ke arah saya, membuat merinding.

Penjaga kapela ini, Bapa Domi, me­nunjukkan sikap hormat teramat dalam setiap ia hendak menunjukkan pusaka suci kapela. Seakan-akan tiada yang lebih berarti dalam hidupnya selain mengurusi kapela kecil ini. "Sejak remaja hingga umur hampir 80 tahun sekarang, saya tidak bisa memisahkan diri dari Cruz Costa. Pernah beberapa kali pergi jauh, tetapi hati saya selalu menyuruh untuk pulang."

PULAU Solor bernaung awan kelabu saat saya menjejakinya. Sebagian perbukitan tertutup kabut. Jalan aspalnya yang luka menyiratkan kesan angker lantaran kerap dibumbui kompleks pekuburan di sisi kiri kanan. Pulau ini aneh, jejeran pusara lebih gampang ditemui ketimbang kampung-kampungnya. Seorang ibu menyarankan saya untuk mengunjungi Karawatung. "Rumah-rumah adat di sana banyak," katanya.

Lokasi kampung Karawatung berada di tengah ladang, terpisah dari permukiman, dan tidak dihuni siapa-siapa. Padahal, astaga, kampung ini terisi hampir dua puluh rumah tradisional!

Karawatung disebut sebagai kampung komunal perdana sekaligus terbesar di Solor. Karenanya, ritual adat selalu diselenggarakan di sana. Yang paling ditunggu-tunggu warga yakni Berauk, upacara syukuran massal yang dihelat usai panen. Dimulai dengan pencarian hari baik (elo) oleh kepala adat dengan memantau posisi bulan, disusul pengirisan nira untuk minuman (tada tua keli) dan pembagian jawawut sebagai simbol kesuburan (seo wata blolon). Puncak ritual Berauk ditandai dengan datangnya semua warga ke kampung Karawatung, baik yang di Solor maupun yang merantau. Selain doa dan tarian, pokok dari Berauk yakni pembagian lori, nasi yang dibentuk bulat-bulat, kepada tiap kepala keluarga.

KAPAL membawa saya kembali ke Larantuka. Bayang-bayang menjulang gunung Ile Mandiri, Ile Boleng, dan gunung kembar Lewotobi meretas pikiran saya akan kemasyhuran silam daerah ini. Saya sadar, baik Larantuka, Adonara, maupun Solor, ketiganya pernah memainkan peranan besar bagi peradaban Flores.

Akankah tempat-tempat ini sekadar dikenang sebagai tilas-tilas? Sekadar remah-remah sejarah? Pikiran saya pun beradu cepat dengan desir angin, hilang-muncul antara kronik masa lalu dan harapan masa depan Nagi Tanah.

(Valentino Luis)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gunung Batu Jonggol Bogor: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Lokasi

Gunung Batu Jonggol Bogor: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Lokasi

Jalan Jalan
Ocean Park BSD City Tangerang: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Jam Buka

Ocean Park BSD City Tangerang: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Jam Buka

Jalan Jalan
Scoot Terbangkan Pesawat Embraer E190-E2 Pertama

Scoot Terbangkan Pesawat Embraer E190-E2 Pertama

Travel Update
5 Tips Traveling dengan Hewan Peliharaan yang Aman

5 Tips Traveling dengan Hewan Peliharaan yang Aman

Travel Tips
Traveloka dan Baby Shark Beri Diskon Liburan Sekolah hingga 50 Persen

Traveloka dan Baby Shark Beri Diskon Liburan Sekolah hingga 50 Persen

Travel Update
4 Kesalahan yang Harus Dihindari Saat Melawati Keamanan Bandara

4 Kesalahan yang Harus Dihindari Saat Melawati Keamanan Bandara

Travel Tips
KAI Sediakan 739.000 Kursi Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus

KAI Sediakan 739.000 Kursi Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus

Travel Update
Kadispar Bali: Pungutan Wisatawan Asing Sudah Hampir Rp 79 Miliar

Kadispar Bali: Pungutan Wisatawan Asing Sudah Hampir Rp 79 Miliar

Travel Update
Tips Jogging with View di Waduk Tandon Wonogiri, Jangan Kesiangan

Tips Jogging with View di Waduk Tandon Wonogiri, Jangan Kesiangan

Travel Tips
Tips Atas Bengkak Selama Perjalanan Udara, Minum hingga Peregangan

Tips Atas Bengkak Selama Perjalanan Udara, Minum hingga Peregangan

Travel Tips
Harga Tiket Wisata Pantai di Bantul Terkini, Parangtritis hingga Pandansimo

Harga Tiket Wisata Pantai di Bantul Terkini, Parangtritis hingga Pandansimo

Travel Update
Ada Pungli di Curug Ciburial Bogor, Sandiaga: Perlu Ditindak Tegas

Ada Pungli di Curug Ciburial Bogor, Sandiaga: Perlu Ditindak Tegas

Travel Update
Menparekraf Bantah Akan Ada Pungutan Dana Pariwisata kepada Wisatawan

Menparekraf Bantah Akan Ada Pungutan Dana Pariwisata kepada Wisatawan

Travel Update
Sandiaga Dukung Sanksi Tegas untuk Penyulut 'Flare' di Gunung Andong

Sandiaga Dukung Sanksi Tegas untuk Penyulut "Flare" di Gunung Andong

Travel Update
Waktu Terbaik untuk Beli Tiket Pesawat agar Murah, Jangan Mepet

Waktu Terbaik untuk Beli Tiket Pesawat agar Murah, Jangan Mepet

Travel Tips
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com