Tepat pukul 10.00, museum pun dibuka. Lagu-lagu ABBA seperti Dancing Queen, Honey Honey dan Chiquitita menyambut para pengunjung. Sejenak emosi saya dibawa ke kenangan masa kecil saat kakak sering memutar lagu-lagu itu menggunakan kaset dan tape sederhana. Mulut saya pun mulai komat-kamit ikut menyanyikan lagu-lagu yang baru saya pahami liriknya saat ini.
Untuk masuk museum, pengunjung bisa membeli tiket seharga 200 krona atau sekitar Rp 300.000. Di dalam museum yang berada di bawah tanah itu para pengunjung disambut dengan berbagai cuplikan konser dan klip lagu-lagu ABBA. Kami seperti diajak mengenang kembali masa-masa emas grup kebanggaan Swedia itu.
Memasuki ruang selanjutnya, berbagai benda peninggalan para personel ABBA dipajang. Pernak-pernik itu bercerita mulai dari pertemuan Agnetha Faltskog dengan Bjorn Ulvaeus yang kemudian bertunangan dan menikah. Lalu perjumpaan keduanya dengan Benny Anderson dan Anni-Frid Lyngstad dalam sebuah pentas di Swedia. Kecocokan keempatnya kemudian mengantar mereka membentuk grup bernama ABBA, singkatan dari nama-nama empat orang yang kemudian menjadi pasangan itu.
Di dalam museum dipajang mobil-mobil yang dahulu mereka gunakan, berbagai macam alat musik, kostum berbagai rupa, tiruan studio yang ditata seperti aslinya, tiruan ruang rias lengkap dengan alat-alat riasnya, berbagai benda yang digunakan dalam pemotretan sampul album, hingga potongan-potongan berita tentang ABBA.