Kampung Kauman mulai tumbuh saat Raja Keraton Surakarta Paku Buwono III membangun Masjid Agung Keraton, persis di sisi sebelah barat alun-alun keraton pada tahun 1763-1788.
Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, mengatakan, Kampung Kauman biasa dijumpai dalam peradaban kota-kota tua di Jawa. Kampung ini biasanya berada di sisi belakang Masjid Agung dan di dekat alun-alun keraton. Seperti halnya di Solo, Kampung Kauman di Yogyakarta juga berada persis di dekat Masjid Agung Keraton.
Pada era pemerintahan Keraton Surakarta, Islam adalah agama negara. Raja sebagai pemimpin tertinggi politik dan pemerintahan, sekaligus menjadi pemimpin tertinggi agama. Untuk menjalankan fungsi tersebut, sang raja dibantu penghulu yang bertugas mengurusi bidang keagamaan.
Dalam menjalankan tugasnya, penghulu dibantu ulama dan para kaum atau abdi dalem pamethakan (putih). Mereka oleh keraton diberikan tanah untuk tempat tinggal di sekitar Masjid Agung. ”Kampung tempat para kaum ini tinggal kemudian disebut ’Kauman’,” kata Heri. Nama Kauman pun tetap bertahan hingga kini.
Kampung Kauman ditinggali, antara lain, ketib atau khatib, yakni pengkhotbah shalat Jumat dan juga imam. Selain itu, modin, yakni pemukul beduk menjelang waktu shalat dan mengumandangkan azan. Pembantu modin atau disebut qoyyim dan merbot yang bertugas mengurusi kebersihan masjid hingga menyediakan tikar untuk shalat dan tugas-tugas teknis lainnya juga bertempat tinggal di Kauman.
Di Solo, Kampung Kauman terbagi menjadi beberapa kampung yang lebih kecil. Kampung ini disebut sesuai jenis-jenis pekerjaan yang digeluti warga setempat. Misalnya, ada Kampung Modinan karena dulu menjadi tempat tinggal para modin.
Kampung Blodiran karena banyak ditinggali abdi dalem yang bekerja sebagai tukang bordir. Kampung Gerjen karena sebagian besar warganya bekerja sebagai gerji atau penjahit.
Ada juga Kampung Kentiran karena pekerjaan warganya menjadi pembuat samir, yakni semacam selendang mini berwarna kuning dan merah yang dikalungkan di leher. Samir wajib dipakai oleh abdi dalem ataupun masyarakat awam saat ada acara resmi di keraton atau ketika masuk ke dalam lingkungan keraton.
Sejarah mencatat, di Kampung Kauman inilah pada tahun 1876 lahir salah satu tokoh Sarekat Islam, yakni Haji Misbach. Haji Misbach berasal dari keluarga pedagang batik yang sukses.
Agus Riyanto (50), salah seorang warga asli Kauman yang juga Sekretaris Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, menuturkan, Kauman mulai menjadi pusat kampung batik, yang tidak hanya dihuni para kaum, ketika keraton memerintahkan para abdi dalem yang ditugaskan membuat batik tinggal di situ.
”Keraton membutuhkan sandang batik sehingga abdi dalem yang biasa membatik diperintahkan tinggal di Kauman agar lebih dekat dengan keraton. Mulai dari itu kemudian muncul pengusaha-pengusaha batik di Kauman,” kata Agus.
Usaha dan kemampuan membatik secara tradisi diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang.
Seiring derap usaha batik yang makin bergairah, kehidupan religi warga Kauman tetap terjaga. Saat Ramadhan seperti sekarang, langgar dan masjid diisi beragam kegiatan keagamaan, seperti pengajian, anak-anak yang belajar Al Quran, dan shalat Tarawih. Tatanan nilai Islam yang dianut masyarakat Kauman tetap menjadi napas hidup warga setempat. (ERWIN EDHI PRASETYA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.