Pencapaian itu membuat Stammeshaus meminta kepada Jenderal HNA Swart membawa kembali paviliun itu ke Aceh, tepatnya ke Banda Aceh. Jenderal HNA Swart mengabulkan permintaan itu. Bahkan, ia
menjadikan paviliun itu sebagai Museum Aceh pada 31 Juli 1915. Kini, museum itu berada di Jalan Sultan Alaiddin Mahmudsyah, Banda Aceh, dari sebelumnya sempat berada di kawasan Blang Padang, Banda Aceh.
Museum Aceh menyimpan sekitar 6.700 koleksi sejarah dari sejumlah suku bangsa asli yang mendiami Aceh. Koleksi itu mewakili zaman purbakala hingga kejayaan sejumlah kerajaan di Aceh. Koleksinya antara lain kerangka manusia purba, kerajinan budaya, manuskrip, keramik, dan beberapa makam raja di Aceh.
Museum itu pun menjadi primadona masyarakat setempat. Paling tidak, jumlah pengunjung yang datang ke museum tersebut terus meningkat dalam tiga tahun ini. Berdasarkan data Museum Aceh, pada 2011 ada 22.139 pengunjung, pada 2012 ada 27.217 pengunjung, dan pada 2013 ada 33.400 pengunjung.
Oleh karena itu, Muzakkar menuturkan, pihaknya berkomitmen untuk terus merawat dan menjaga Museum Aceh. ”Peran ataupun fungsi museum ini sangat besar bagi pembangunan Aceh. Selain untuk merawat jati diri bangsa Aceh, museum ini pun bisa menjadi aset pariwisata utama untuk Aceh,” ucapnya.