Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Wisata "Anti-mainstream" ala Bukittinggi

Kompas.com - 12/10/2015, 17:21 WIB

Apa yang diperkenalkan oleh Doddy dan Meri ternyata mendapat sambutan hangat dari tamunya karena mereka mendapatkan pengalaman dan sensasi baru yang tidak pernah didapatkan sebelumnya.

Karena rumah kontrakan mereka di Kota Bukittinggi, dekat Ngarai Sianok, berukuran kecil, sementara tamu semakin banyak, Doddy pun kemudian membeli sebidang tanah seluas lebih dari 1.000 meter persegi di Desa Gaduik, di luar Bukittinggi.

Di rumah baru tersebut, Doddy dan Meri membuat program baru, yaitu pelajaran memasak masakan tradisional Minang (cooking class), terutama rendang.

Program wisata yang dipimpin Doddy diawali dengan kegiatan "wajib", yaitu berjalan kaki menuju ke Panorama untuk menikmati keindahan Ngarai Sianok, kemudian diteruskan ke miniatur Great Wall (Tembok Tiongkok), berkunjung ke pusat kerajinan perak Kota Gadang, makan siang di rumah penduduk, menyusuri hutan bambu, dan menyeberangi Sungai Sianok.

Setelah menuntaskan trekking dan untuk kembali ke hotel itulah, para tamu diantar dengan truk yang dalam bahasa lokal disebut "prah". Karena mengalami sesuatu yang unik, tidak terlihat wajah kecewa atau tidak puas dari tamu asing tersebut, bahkan mereka tertawa terkekeh-kekeh saat menaiki truk berwarna kuning yang biasa dipakai mengangkut pasir.

"Kalau turis domestik disuruh naik truk, pasti mereka mengamuk," kata Doddy yang sudah menjadi pemandu wisata sejak SMA dan sekarang khusus melayani tamu asing, bekerja sama dengan sebuah biro perjalanan yang berpusat di Belanda.

Untuk makan malam di rumahnya di Desa Gaduik yang berjarak sekitar 15 menit perjalanan dari hotel, tamu yang dalam satu rombongan rata-rata berjumlah 20 orang, diboyong dengan menyewa angkot langganan.

Hubungan emosional

Berbeda dengan paket wisata pada umumnya, di mana hubungan antara wisatawan dan pemandu tidak lebih dari sekadar hubungan bisnis, dilayani, dibayar, dan kemudian selesai, Doddy dan istrinya lebih mengutamakan sisi kekeluargaan.

Di rumahnya sekarang yang cukup luas itu, tamu bebas untuk bercengkerama dengan ketiga anaknya dan bahkan dengan masyarakat sekitar.

Bunyi bunyi jangkrik pada malam hari yang berasal dari sawah di belakang rumah, seolah menjadi sebuah orkestra alami yang membawa kesan tersendiri. Bahkan ada beberapa di antara tamu yang merasa betah di rumah keluarga Doddy dan enggan kembali ke hotel.

Hubungan keluarga Doddy dengan sebagian tamu sering berlanjut dan tetap bertahan sampai sekarang. Bahkan salah seorang tamu asal Belanda bernama Floris kecantol dengan adik istrinya, Susi. Mereka kemudian menikah dan Susi pun diboyong ke Belanda.

"Baru kali ini saya merasakan sebuah perjalanan wisata yang unik, penuh kekeluargaan, dan belum saya temukan di tempat lain," kata Joyce (60 tahun), seorang tamu perempuan asal Belanda.

Namun, di balik sensasi wisata anti-mainstream tersebut, keluhan turis asing yang sering membuat merah kuping adalah masalah sampah, terutama sampah plastik di sekitar lokasi wisata.

"Saya sempat merasa malu ketika seorang pedagang di Panorama, Ngarai Sianok, dengan seenaknya membuang botol plastik ke selokan dan tamu saya langsung mengambil botol tersebut dan kemudian memasukkannya ke tong sampah yang tidak jauh dari situ," kata Doddy.

Terlepas dari ketidakdisiplinan masyarakat menjaga kebersihan lingkungan, Bukittinggi untuk saat ini masih menjadi magnet bagi wisatawan untuk berkunjung ke Sumatera Barat, terutama pada musim liburan sekolah atau hari besar lainnya.

Setelah ibu kota Padang, Bukittinggi mempunyai fasilitas pendukung paling lengkap seperti hotel berbintang, rumah makan, dan jasa wisata. Saat ini terdapat lebih dari 60 hotel dengan berbagai tingkatan, mulai dari hotel berbintang, hotel melati, dan kelas backpacker.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Bukittinggi, kunjungan wisatawan asing dan domestik sepanjang 2014 lalu lebih dari 400.000 orang. Tetapi, bencana asap yang terjadi dalam dua bulan belakangan membuat kunjungan wisata turun drastis.

"Wisatawan datang ke Bukittinggi dan sekitarnya untuk menikmati keindahan alam dan udara bersih, tetapi mereka kecewa karena Ngarai Sianok dipenuhi asap dan tidak bisa melihat apa-apa kecuali asap putih," kata Herman, salah seorang warga Bukittinggi yang sehari-hari berjualan cendera mata di sekitar Jam Gadang. (Atman Ahdiat)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com