Ada benda-benda usang di sana, antara lain dua papan nama peserta didik angkatan 1996 dan 1997, serta bingkai penghargaan Wali Kota Banda Aceh untuk Nyak Mu sebagai pelestari songket Aceh pada 1992. Benda-benda itu menjadi saksi bisu, tempat itu pernah berjaya.
”Dulu, puluhan orang membuat songket di sini. Namun, jumlahnya terus berkurang dari tahun ke tahun. Pasca meninggalnya Nyak Mu, tempat ini tak beraktivitas lagi,” ujar Aswadi.
Cucu pertama Nyak Mu, Fajrina (30), mengisahkan, Rumoh Teupeuen pernah menjadi pusat kerajinan songket di Aceh, terutama pada 1980-1990-an.
Kala itu, tempat tersebut memiliki 40-60 perajin songket. Produknya dijual dan dipamerkan di Jakarta, Bali, Sri Langka, Singapura, dan Malaysia. Wisatawan domestik dan mancanegara pun berdatangan.
”Selain itu, tempat ini pernah melatih tenun songket kepada ratusan perempuan dari Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Timur,” kenangnya.
Namun, memuncaknya konflik di Aceh pada akhir 1990-an membuat perajin tak leluasa membuat songket. Satu per satu perajin menghilang karena takut dengan suasana yang mencekam.
Pasca konflik, kondisi tak kunjung membaik. Hanya lima perajin bertahan. ”Mereka memilih membuat songket di rumahnya dengan alat yang kami pinjamkan,” kata Fajrina.