”Melestarikan batik berarti turut merawat warisan budaya. Saya ingin ada perajin yang mengembangkan batik tulis di Lampung. Dengan begitu, mereka juga bisa mendapatkan penghasilan,” tutur Laila.
Pada 2008, Laila mulai aktif mempelajari berbagai motif batik lampung melalui buku. Ia juga tak sungkan bertanya kepada rekan dan tokoh penyimbang adat Lampung untuk mengetahui makna dari setiap motif gajah, perahu (jukung), dan siger (mahkota).
Laila lalu mengajak ibu rumah tangga yang tinggal di sekitar rumahnya untuk belajar membatik. Ada sekitar 30 orang yang tertarik belajar membatik.
Namun, ketiadaan modal untuk membeli berbagai kebutuhan membatik, antara lain kain, malam (lilin), canting, dan pewarna kain membuat rencana itu urung terlaksana.
Saat itu, Laila tak memiliki cukup uang untuk membeli semua bahan dan perlengkapan membatik. Ia pun berinisiatif mengajukan permohonan bantuan dana melalui dinas pendidikan.
”Masyarakat ingin belajar membatik, tetapi tak punya modal. Saya memutuskan mengurus izin pendirian lembaga kursus membatik agar kegiatan bisa berjalan. Sebab, bantuan dana dari pemerintah bisa diperoleh dengan syarat sudah ada lembaga kursus yang berizin,” kata Laila.
Tahun itu pula, untuk pertama kalinya Laila memberikan pelatihan membatik bagi 20 ibu rumah tangga dan remaja putri berkebutuhan khusus. Ia membuat sendiri kurikulum dan silabus untuk murid binaannya. Sampai tahun 2015, ia telah membina sekitar 200 perajin batik.
Semula, Laila ingin murid binaannya dapat mengembangkan keterampilan membatik secara mandiri. Namun, usaha dan akses pasar lagi-lagi menjadi kendala bagi para perajin.
”Mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk mengembangkan usaha batik. Selain itu, mereka juga tidak tahu harus ke mana memasarkan produknya,” lanjutnya.
Ia pun memutuskan membuka galeri agar kain batik hasil produksi murid binaannya dapat terjual. Laila rajin mempromosikan kain batik itu melalui berbagai pameran daerah dan nasional. Bahkan, batik tulis itu kini telah dikenal di beberapa negara, antara lain Jerman, Turki, Mesir, dan Iran.
Dengan capaian itu, Laila membantu menyejahterakan kehidupan murid binaannya. Ia berani memberikan upah yang lebih tinggi untuk perajin yang bekerja bersamanya. Mereka mendapat upah Rp 75.000 hingga Rp 100.000 untuk setiap kain batik.