Soemardi (90-an) mengenang saat awal dia menginjakkan kaki di Kayu Aro tahun 1950-an. Lelaki asal Jombang, Jawa Timur, yang beranak pinak di Kayu Aro itu bercerita dengan penuh semangat.
”Saya masih remaja, di sini bekerja membersihkan tanaman yang mengganggu kebun teh. Saya tinggal di barak dan digaji Rp 10, lalu naik Rp 25,” kata Soemardi yang kini tinggal di Desa Sungai Asam, masih di sekitar perkebunan teh Kayu Aro.
Setiap habis gajian, sang administratur yang berkebangsaan Belanda menganjurkan para karyawan berjudi. Akibatnya, gaji mereka ludes di meja judi.
”Karena enggak punya uang, kami diberi pinjaman. Begitu terus-menerus, kami harus bekerja karena punya utang. Kami tak pernah punya uang sampai tak lagi punya pikiran mau kembali ke Jawa.”
Dia kemudian ”naik pangkat” menjadi mandor dengan senjata tongkat kayu yang ujungnya diberi baut besi. Jika ada pemetik daun teh yang melakukan kesalahan, tongkat di tangan Soemardi langsung memukul tangan si pemetik teh.
Di sisi lain, lanjutnya, selain mendapat gaji, dia juga diberi jatah beras, gula, ikan asin, minyak untuk lampu, minyak goreng, susu, kacang hijau, kain, dan teh dari pabrik Kayu Aro.
Ketika Indonesia mengambil alih perkebunan ini, layar tancap sering diputar sebagai hiburan bagi karyawan. ”Film-film Indonesia yang diputar seperti Ratapan Anak Tiri. Banyak juga film penyuluhan pertanian,” katanya.
Magnet perkebunan teh Kayu Aro belum pudar. Selain hamparan kebun teh dan keindahan alam sekitarnya, kisah-kisah mereka yang pernah tinggal di Kayu Aro juga menarik banyak orang untuk berkunjung.
Legimin menambahkan, beberapa kali kerabat para administratur Belanda berkunjung ke Kayu Aro. Bangunan-bangunan lama yang dipertahankan membuat imajinasi mampu menembus waktu. (CHRIS PUDJIASTUTI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.