Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampung Naga, Kearifan di Bawah Tebing

Kompas.com - 14/09/2016, 17:05 WIB
Silvita Agmasari

Penulis

TASIKMALAYA, KOMPAS.com - Di Banten, ada Suku Baduy yang terkenal memegang teguh adat istiadat dan warisan leluhur mereka. Di Tasikmalaya, Jawa Barat juga ada satu kampung yang memegang teguh kearifan lokal dari nenek moyang. Kampung tersebut adalah Kampung Naga.

Tak seperti Suku Baduy, penduduk di Kampung Naga cenderung lebih menerima peradaban modern. Tak ada aturan berbusana, larangan pendidikan, atau elektronik. Namun demikian nasihat dan aturan nenek moyang masih dipegang teguh oleh penduduk Kampung Naga.

"Kampung Naga itu berada di bagian tebing. Kalau Bahasa Sunda disebut gawir, jadi banyak orang sebut kampung nagawir (jurang), banyak yang menyingkat jadi Kampung Naga," kata Yudhi. Penduduk setempat sekaligus pemandu wisawatan.

Menurut Yudhi, Kampung Naga mulai dikenal publik pada tahun 1987 saat ada acara televisi menayangkan Kampung Naga. Namun pada tahun 2000, Kampung Naga baru ramai dikunjungi wisatawan.

Untuk mencapai Kampung Naga, wisatawan akan memasuki sebuah gapura besar memasuki tempat parkir, toko kerajinan, dan tugu kujang. Kampung Naga tentu tak akan terlihat dari gapura. Sebab letak kampungnya di bagian bawah tebing. Wisatawan perlu menuruni sekitar 200 anak tangga untuk mencapai area kampung.

Namun dari atas tangga pengunjung akan disuguhkan pemandangan yang luar biasa. Dari sebelah barat terbentang hutan dan aliran sungai yang deras.

Di sebelah timur nampaklah hutan dan sawah penduduk kampung naga yang begitu asri. Barulah di bagian timur laut nampak atap-atap rumah penduduk Kampung Naga yang menggunakan daun nipah.

Suasana tenang dan pemandangan yang asri membuat wisatawan terhanyut, seakan memasuki lorong waktu yang berbeda. Kala Indonesia masih tradisional, belum disentuh peradaban modern. 

Kompas.com/Silvita Agmasari Rumah-rumah di Kampung Naga yang seragam.
Penduduk kampung naga memang tak mau menerima aliran listrik masuk kampungnya. Begitu pula dengan penggunaan gas LPG untuk memasak, padahal banyak pihak termasuk pemerintah menawarkan fasilitas membuat kampung mereka menjadi gemerlap.

"Sudah aturannya dari leluhur, karena bahan rumah kami mudah terbakar jadi tak boleh ada itu," kata Yudhi.

Rumah penduduk Kampung Naga memang seragam. Peraturan adat mengatur penggunaan bahan bagunan dari kayu atau bambu, atap dari daun nipah atau ijuk, dan tak boleh ada perabotan seperti kursi. Kamar mandi dan kandang ternak diberi aturan harus ebrada di luar area perumahan.

Peraturan lainnya adalah larangan adanya musik dari luar dan tempat keramat yang tak boleh dimasuki atau dipotret. Seperti rumah adat yang hanya boleh dimasuki oleh tetua, atau hutan keramat yang dipercaya makam leluhur dari Kampung Naga.

Ada pula hutan terlarang yang tak boleh dimasuki siapa pun. "Bukan karena mistis, tapi untuk lestari. Kalau hutannya dimasuki dan dibuka jadi habis nanti," kata Yudhi. 

Kompas.com/Silvita Agmasari Seorang penduduk Kampung Naga sedang memperbaiki rumahnya.
Namun di samping segala aturan nenek moyang Kampung Naga tetap luwes. Misalnya aturan pernikahan campuran di luar penduduk Kampung Naga atau merantau untuk mencari rezeki, serta penggunaan alat komunikasi seperti handphone

Ketika masuk peradaban modern, Kampung Naga masih tetap memegang teguh dan menjalani aturan dari nenek moyang. Jangan pikir Kampung Naga hanya menyisakan orang tua dan renta. Ada 314 warga dengan komposisi usia seimbang. Pemuda seperti Yudhi yang berusia 20 tahunan juga banyak berdiam di Kampung Naga. Apa rahasianya? 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com