Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jongkie Tio, "Pendongeng" Tionghoa Peranakan

Kompas.com - 25/10/2016, 10:03 WIB

Menyelisik sejarah

Jongkie mengatakan, selama bertahun-tahun dirinya menggali sejarah dan budaya peranakan Kota Semarang. Ia melihat banyak hal di kota itu yang memperlihatkan unsur budaya Tionghoa yang kental.

Maklum, etnis ini memang telah lama bermukim di kota tersebut. Sejumlah literatur menyebutkan, mereka sudah hadir di sana sejak tahun 400-600 Masehi.

Etnis Tionghoa sejak dulu senang bermukim di Semarang karena kota itu merupakan bandar terbesar di Jawa sejak divisi dagang Belanda memindahkan pelabuhan dari Tuban ke Semarang.

Kota itu dianggap memiliki peruntungan sebagai tempat tinggal dan berdagang karena bentuknya yang mirip dengan mulut naga. Di bagian atas (selatan), kota ini dikelilingi pegunungan. Sementara bagian bawah (utara) berbentuk melebar layaknya mulut naga.

”Kalau mau membuktikan betapa kota ini punya peruntungan karena dikelilingi gunung, silakan naik perahu, lalu ke tengah laut di perairan Semarang. Kalau cuaca cerah, bisa dilihat kota ini dikepung tujuh gunung, mulai dari Gunung Ungaran, Telomoyo, Merbabu, Merapi, Sindoro, Sumbing, sampai Gunung Muria,” ujar Jongkie saat ditemui pada pertengahan September lalu.

Jongkie sudah berhubungan dengan sejarah sejak kecil. Maklum, ayahnya memiliki toko barang antik dan toko buku. Saat remaja, bocah itu gemar memotret. Saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tahun 1965, ia menyadari pentingnya foto sebagai sarana dokumentasi.

Dengan kamera, Jongkie kemudian memilih mengabadikan seluk-beluk masa lalu Kota Semarang, seperti bangunan tua, benda-benda kuno, atau obyek-obyek khas lain. Secara khusus, ia juga belajar sejarah dari berbagai sumber, termasuk pergi ke Belanda demi meng-oprek-oprek dokumen di beberapa universitas di sana.

Sebagaimana ayahnya, ia juga mengembangkan bisnis barang antik. Namun, tahun 2000, toko itu tutup. Ia pun beralih membantu mengelola restoran milik istrinya. Dalam peralihan itu, Jongkie tetap mendalami sejarah dan budaya peranakan Semarang.

Pengetahuan itu tak disimpan untuk diri sendiri. Ia ”mendongengkan”-nya kepada siapa saja yang tertarik, termasuk mahasiswa, peneliti, wartawan, atau turis. Bersama sahabatnya, Amen Budiman, Jongkie menerbitkan catatannya dalam buku Kota Semarang dalam Kenangan (tahun 2002).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com