“Bakdo kupat memiliki makna persatuan sebagaimana janur kelapa yang dianyam, ikatannya kokoh dan membentuk ruang yang dapat diisi beras. Tanpa anyaman tidak akan memiliki fungsi ini,” kata Muhammad Kiyai Wonopatih, sesepuh masyarakat dan imam masjid Desa Reksonegoro.
Muhammad Kiyai Wonopatih menambahkan sajian makanan saat bakdo kupat adalah pemersatu sanak saudara yang datang dari jauh dan warga lainnya untuk datang bergembira. Mereka bersilaturahmi, menyambung komunikasi dalam ikatan yang kuat, tidak mudah dipisahkan.
Pada masa lalu, pesan orang tua untuk menjaga persatuan dituturkan saat menyantap hidangan lezat ini. Nasihat ini selalu diulang dari tahun ke tahun. Inilah pesan utama yang selalu hadir dalam bakdo kupat masyarakat Jaton.
“Setiap keluarga atau masyarakat pasti ada masalah, bahkan ada yang silaturahminya terputus. Pada momen bakdo kupat inilah hubungan yang renggang tadi bisa ditautkan kembali. Kita menikmati persatuan dan persaudaraan yang hakiki,” ungkap Muhammad Kiyai Wonopatih.
Biaya dan tenaga yang besar bukanlah halangan bagi warga Jaton untuk melaksanakan bakdo kupat. Mereka sudah menyintai kebiasaan ini sebagai warisan leluhur yang harus diteruskan untuk merawat silaturahmi anak bangsa.
Pengalaman para mbah (kakek) mereka di medan laga Perang Diponegoro (1825-1830) memberikan pelajaran yang berharga. Dengan bersatu keinginan untuk mewujudkan impian bersama dapat dicapai, kehidupan yang lebih baik.
“Saya membuat 300 nasi bulu, sebagian pesanan saudara,” kata Nina Pulukadang yang membakar makanan khas ini di kebun belakang rumahnya.
Sementara itu, Hadijah Baderan alias Mbok Jango, dalam usia tuanya, ia masih gesit mengatur bara api dari sabut kelapa agar tidak menghanguskan nasi bulu. Ia rela kepanasan dan mandi keringat agar nasi bulunya masak dengan sempurna.
Yang unik lainnya adalah sajian jenang pada keluarga Abdurrohim Mertosono, meski sama-sama berwana hitam, namun jenang dari keluarga ini memiliki cita rasa pisang yang khas. Ini tidak lain karena saat masaknya dicampurkan buah pisang dalam adonan jenang.
“Tidak sembarang pisang, salah satunya pisang pagata (kepok). Kalau pisang lain akan menggumpal, tidak menyatu dalam adonan jenang. Sudah pernah dicoba tapi tidak pernah berhasil,” papar Idris Mertosono.
Seiring perjalanan waktu, bakdo kupat tidak hanya acara di masjid semata. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Gorontalo mulai melihat peristiwa budaya ini sebagai aset pengembangan pariwisata.