Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketajaman Khukuri, Keganasan Gurkha, dan Kebaikan Orang di Kathmandu

Kompas.com - 21/03/2018, 20:33 WIB
Wisnubrata,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

Maka saya pun berjalan bersamanya. Saya sempat bertanya apakah dia memang akan ke sana atau tujuannya searah? Dia hanya menjawab, "No problem", sambil tersenyum.

Selang 10 menit, kami tiba di sebuah persimpangan yang ternyata adalah Saat Ghumti. "Di mana temanmu?" tanya pria itu. Saya jawab bahwa yang saya cari adalah toko bernama Khukuri House. Lalu kami berkeliling, dan ternyata tidak menemukannya.

Maka ia berinisiatif menanyakan tempat itu pada orang-orang di sekitarnya, dalam bahasa Nepali. Dari beberapa toko yang ditanya, ada satu tempat yang dijaga seorang perempuan tua yang mengetahui toko itu. Saya lupa nama nenek itu, tapi di telinga saya ia terdengar menyebut Sajita sebagai namanya.

Nenek yang menjual kartu, baterai, dan juga magnet kulkas itu mempersilakan saya duduk, sembari mencari nomor telepon baru Khukuri House di buku catatan yang kertasnya mulai pudar.

"Saya kenal baik Sanjay Lama, tapi dia sudah pindah sejak lama karena tempat yang disewanya diminta oleh pemiliknya," ujar nenek tersebut. Sanjay adalah anak pertama Lalit Kumar Lama. Dialah yang sekarang menjaga toko di Thamel.

Sesaat kemudian, ia menemukan nomor Sanjay dan meminta saya menelponnya. Rupanya dia sendiri tidak memiliki telepon. Maka saya pun menelponnya. "Halo Sanjay, saya mencari tokomu," ujar saya.

Baca juga : Tahun 2018, Pemerintah Nepal Larang Pendakian Solo ke Gunung Everest

Dia menjawab, "Saya pindah di Jyata, tak jauh dari lokasi lama," lalu mulai menerangkan jalan yang harus saya ambil. Nah, bagian ini saya bingung, karena sekali lagi banyak lorong di Thamel.

Nenek itu rupanya mengerti kegalauan saya yang diburu waktu. Maka ia meminjam ponsel saya dan bicara pada Sanjay dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Kemudian ia berkata pada saya, "Kamu duduk di sini saja. Sanjay akan mengirim orang menjemputmu."

Adapun pria yang tadi mengantarkan saya bertanya, "Sudah ketemu kan. Kalau begitu saya pamit ya. Namaste," katanya.

Saya baru tersadar bahwa sedari tadi dia menunggu sampai saya mendapat kepastian. "Terimakasih banyak, kamu sungguh baik," ujar saya. Dia tersenyum sambil mengatupkan tangan di dada dan kepala bergeleng-geleng. Dalam kebiasaan setempat, postur itu bisa diartikan sebagai, "no problem, nggak masalah."

Tak sampai sepuluh menit, utusan Sanjay datang. Saya katakan bahwa waktu saya tinggal sebentar jadi kita musti bergegas. Maka setelah pamit dengan nenek penjaga toko, setengah berlari kecil saya mengikuti pria berkumis dengan wajah ramah itu.

Sanjay Lama di tokonya, khukuri houseKompas.com/Wisnubrata Sanjay Lama di tokonya, khukuri house
Ternyata Khukuri House pindah ke lokasi yang lebih dekat dengan pintu masuk kawasan Thamel, sekaligus lebih dekat dengan titik di mana saya harus kembali. Itu membuat saya lebih tenang.

Toko itu sederhana saja, namun bersih. Saya masuk dan mendapati seseorang yang mirip orang Asia kebanyakan, berkulit kuning dan bermata sipit. Ia menyambut. "Saya Sanjay," katanya.

Tanpa basa-basi, saya sampaikan bahwa saya mestinya sudah harus kembali ke bus. "OK tidak apa-apa. Saya sudah siapkan barang yang kamu inginkan," ujarnya sambil mengeluarkan dua bilah khukuri. Satu adalah standar yang dipakai prajurit Gurkha, satu lagi yang biasa dibawa petani dan pemburu.

Yang pertama bilahnya lebih lebar, cocok untuk menebang pohon, sedangkan yang kedua lebih ramping menyerupai daun atau rumput. Bentuknya yang seperti daun itu membuatnya disebut Sirupate, nama tumbuhan berdaun panjang di sana.

"Berapa ini?" tanya saya.

"Masing-masing 4.000 rupee (sekitar 45 dollar atau Rp 550 ribu)," ujar Sanjay.

Hari sebelumnya, di Bakhtapur, saya sempat memasuki toko yang menjual Khukuri, dan pemiliknya memberi harga 125 dollar untuk barang yang sama. Yang ditawarkan Sanjay ini tak sampai setengahnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com