Untuk bisa masuk ke Goa Jepang dikenakan retribusi sebesar Rp 10.000 per orang. Di bagian pusat informasi terdapat foto-foto dan arsip peninggalan tentara Jepang, peta keseluruhan goa, dan juga informasi dasar mengenai goa.
Goa Jepang di Biak ini sebenarnya memiliki nama asli goa Binsari. Situs ini menjadi saksi bisu pertempuran antara pasukan Jepang melawan pasukan sekutu.
Jejak sejarah mengungkapkan bahwa sekitar 3.000 prajurit Jepang tewas dan terkubur hidup-hidup di goa alami yang diubah menjadi tempat persembunyian, pusat logistik, dan pertahanan bagi tentara Jepang saat Perang Dunia II tahun 1943-1944 silam.
Bergeser sedikit dari pusat informasi dan tidak jauh dari situs goa, dibangun ruang arsip khusus yang menyimpan sisa tulang-tulang dan tengkorak pasukan eks-tentara Jepang yang berlindung di bawah goa pada pengeboman 7 Juni 1944 oleh pasukan sekutu.
Mulut goa Binsari terletak tidak jauh dari pusat informasi dan ruang arsip tulang, tetapi sebelumnya kami lebih dahulu disuguhkan dengan pemandangan lubang yang menembus ke dalam goa sebesar ±30 meter.
Pertama kali decak kagum keluar melihat lansekap yang lebar menganga itu, hingga salah seorang sahabat berbicara, “Kira-kira apa (bom) yang mereka masukkan hingga membuat lubang sebesar ini?”, dan kami pun menyadari kejadian tragis yang terjadi berpuluh-puluh tahun silam.
Di bagian dasar goa yang tertembus sinar matahari, tumbuh subur tumbuhan yang mengarah ke puncak karst degan tinggi yang sedang. Dilihat dengan mata telanjang ataupun melalui lensa, pemandangan di dalam goa seperti latar yang diambil dalam film Jurassic Park.
Sebuah bendera dan tulisan kanji diikat pada akar pohon dan menjadi titik ziarah bagi keluarga eks-tentara Jepang.
Pak Sampir membawa kami tak hanya ke Goa Jepang, tetapi juga ke Monumen Perang Dunia II yang terletak 7 km dari situs goa. Monumen tersebut dibangun oleh Pemda Biak di Desa Paray, terletak antara Mokmer dan Bosnik, Biak Timur.
Konon, di tempat monumen tersebut dibangun, terdapat peti-peti jenazah eks-tentara Jepang. Namun sayang, peti-peti tersebut diperjualbelikan secara illegal dan memperkecil kemungkinan ziarah keluarga eks-tentara Jepang ke tanah Biak.
(Artikel dari anggota Tim Ekspedisi Bumi Cenderawasih Mapala UI, Nabila Andrawina. Artikel dikirimkan langsung untuk Kompas.com di sela-sela kegiatan Ekspedisi Bumi Cenderawasih di Papua Barat)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.