JAKARTA, KOMPAS.com – Hari ini (25/3/2020) umat Hindu di Indonesia merayakan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1942. Hari Nyepi jatuh pada tanggal 1 bulan ke-10 dalam perhitungan kalender Bali.
Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, I Gede Pitana, menuturkan bahwa Hari Raya Nyepi adalah hari peringatan tahun baru bagi umat Hindu atas naiknya Raja Kanishka di India pada tahun 78 Masehi.
Naiknya Raja Kanishka pada tahun 78 Masehi yang berasal dari sekte minoritas dan berhasil membuat seluruh sekte yang ada di India setara dan disatukan dianggap sebagai sebuah kelahiran.
Baca juga: Jelang Nyepi, Simak 7 Fakta Menarik Nyepi di Bali
“Kelahiran agama Hindu yang harmonis. Hari Raya Nyepi juga disebut sebagai Tahun Baru Isaka dan dirayakan oleh semua umat Hindu di dunia,” kata Pitana saat dihubungi Kompas.com, Selasa (24/3/2020).
Kendati demikian, Pitana menuturkan bahwa ada satu hal yang unik dalam agama Hindu yang mana agama tersebut menyesuaikan dengan situasi setempat dan geografis umat berada.
Sebagai gambaran, Pitana mencontohkan Hari Raya Galungan di Bali dan Diwali di India.
Prinsip dan filosofi yang dirayakan oleh umat Hindu sedunia tidak berbeda pada dua perayaan tersebut, namun hari perayaannya berbeda.
“Cara perayaannya beda, sesuai dengan situasi lokal. Di Bali ada Siwaratri, di India ada Maha Purnima. Penyebutannya beda, tapi esensi sama,” tutur Pitana.
Pitana mengatakan bahwa perayaan Nyepi di Bali terbilang cukup unik. Kendati namanya adalah “perayaan”, tetapi Hari Raya Nyepi tidak dirayakan dengan gegap gempita.
“Hari Raya Nyepi adalah hari yang sangat kami sucikan sebagai awal tahun. Untuk memulai tahun ke depan itu, kami lakukan introspeksi dan retrospeksi,” kata Pitana.
“Kami juga menghitung berbagai hal yang sudah kami perbuat. Baik itu hal yang tidak bagus, yang bagus, dan seterusnya,” tambahnya.
Baca juga: Melasti dan Pengerupukan, Upacara Sebelum Melakukan Nyepi
Dalam melaksanakan Nyepi, terdapat empat hal yang dilarang yang bernama Catur Brata Penyepian.
Empat larangan tersebut adalah amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), , amati lelanguan (tidak bersenang-senang), dan amati geni (tidak menyalakan api).
Untuk amati lelungan, Pitana mengatakan bahwa umat Hindu harus berada di dalam rumah dan tidak boleh keluar dari pekarangan rumah.
“Selanjutnya ada amati lelanguan. Tidak boleh menghibur atau membuat hiburan seperti nonton televisi, video, bermain game, menyalakan musik, bernyanyi, dan sebagainya,” tutur Pitana.