Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Desa Eyam di Inggris, Contoh Pentingnya Isolasi dan Karantina

Kompas.com - 15/04/2020, 21:07 WIB
Nabilla Ramadhian,
Silvita Agmasari

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Lebih dari 450 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1664 – 1666, wabah merebak secara luas di Inggris dan menewaskan lebih kurang 100.000 orang di London.

Kematian tersebut merenggut lebih kurang seperempat dari populasi kota London pada saat itu.

Wabah tersebut kemudian disebut sebagai Wabah Besar London, atau lebih akrab disebut sebagai Great Plague.

Terletak lebih kurang 56 kilometer dari tenggara Manchester, dan lebih dari 241 kilometer dari London ada Desa Eyam.

Baca juga: Mengharukan, Imigrasi Dubai Beri Stiker Perpisahan di Paspor Turis Asing

Desa Eyam yang kini berpenduduk 900 jiwa, tampak damai dengan pemandangan anak-anak mengambil buah beri. Pengendara sepeda melintasi jalanan curam dipenuhi dedaunan yang gugur di desa tersebut.

Namun desa tersebut sebenarnya pernah dibuat gembar pada musim panas 1665. Melansir BBC, Wabah Besar London berhasil memasuki Desa Eyam.

Berawal dari sampel kain berkutu

Seorang pedagang di London mengirim beberapa sampel kain yang dipenuhi kutu  ditunggangi bakteri kepada seorang penjahit lokal Desa Eyam bernama Alexander Hadfield.

Menurut Business Insider, George Viccars selaku asisten Hadfield, menderita sakit dalam waktu yang lama sebelum akhirnya meninggal pada 7 September 1665.

Selama dua bulan ke depan, lebih dari 40 orang di Desa Eyam meninggal. Kendati demikian, infeksi tersebut mengalami penurunan pada Mei 1666, ,embuat warga setempat mengira wabah telah berakhir.

Namun, wabah bermutasi dan menjadi radang paru-paru pada musim panas 1666.

Sebelumnya, bakteri yang menyebabkan wabah ada dalam siklus jangka panjang antara spesies hewan pengerat tertentu dan kutu.

Namun wabah hanya bisa ditularkan ke manusia paling umum melalui gigitan kutu. Akan tetapi karena wabah yang telah bermutasi, infeksi bisa ditularkan antar manusia.

Wabah tersebut sebagian besar tertahan di selatan Inggris. Penduduk Desa Eyam yang ketakutan akan wabah tersebut, lantas memilih mlakukan karantina lokal di desanya. 

Ketakutan warga dan keinginan untuk keluar dari desa

Pada tahun 1665, desa tersebut memiliki sekitar 750 – 800 orang penduduk. Namun saat wabah membuat kondisi semakin parah 260 orang penduduk meninggal.

Angka tersebut mewakili lebih dari sepertiga dari total populasi Desa Eyam.

Meningkatnya angka kematian akibat wabah yang telah bermutasi membuat banyak penduduk Desa Eyam mempertimbangkan untuk pergi keluar desa.

Namun, seorang kepala desa baru yang juga seorang pendeta, William Mompesson sadar bahwa penduduk Desa Eyam yang keluar dari sana dapat menyebabkan merebaknya wabah di kota-kota tetangga yakni Sheffield dan Manchester.

Baca juga: Hotel di Australia Ini Pekerjakan Robot di Tengah Pandemi Corona

Dia percaya bahwa penduduk Desa Eyam dapat mencegah merebaknya wabah tersebut dengan melarang semua orang memasuki atau keluar dari wilayahnya.

Meski begitu, Mompesson masih belum dipercayai sepenuhnya oleh masyarakat setempat.

Maka dari itu dia meminta bantuan kepada pendahulunya, Thomas Stanley, untuk membantu meyakinkan warga.

Alhasil, Mompesson dan Stanley mengumpulkan penduduknya pada 24 Juni 1666 untuk membicarakan sebuah rencana untuk menahan wabah tersebut.

Keduanya berhasil meyakinkan penduduk Desa Eyam untuk secara sukarelasi mengkarantina diri sendiri.

Kendati menghadapi kemungkinan kematian yang lebih besar, namun mereka memastikan perlindungan tetangga mereka.

Karantina di Desa Eyam

Para penduduk Desa Eyam memutuskan untuk mengisolasi diri mereka sendiri. Salah satunya dengan cara membuat pembatas dari bebatuan.

Penduduk Desa Eyam bersumpah untuk tidak melewati pagar pembatas. Termasuk mereka yang masih sehat, tidak menunjukkan gejala apapun.

Batu yang menjadi pembatas warga Desa Eyam dan warga desa tetangga untuk tidak saling memasuki dan keluar dari wilayah.BBC/Eleanor Ross Batu yang menjadi pembatas warga Desa Eyam dan warga desa tetangga untuk tidak saling memasuki dan keluar dari wilayah.

Hal tersebut dilakukan guna memastikan bahwa penduduk tetap berada di wilayah mereka, dan menjaga orang lain tetap di luar.

Pembatas dari bebatuan diletakkan mengelilingi desa untuk menciptakan zona isolasi tersendiri. Selama beberapa bulan, tidak ada yang memasuki atau keluar dari Desa Eyam.

Meski begitu, para penduduk tetap bisa menerima makanan dan pasokan yang dibutuhkan. Mereka membentuk sebuah sistem yang memanfaatkan pembatas tersebut.

Mereka membuat lubang-lubang di bebatuan tersebut dan meninggalkan koin yang telah dibasahi air cuka yang dipercaya sebagai disinfektan.

Baca juga: Intip 2 Hotel yang Disiapkan Kemenparekraf untuk Tenaga Medis Covid-19

Para pedagang dari desa-desa sekitar akan mengumpulkan uang tersebut dan meninggalkan bungkusan daging, gandum, dan pernak-pernik.

Sebenarnya tak semua penduduk Desa Eyam mau dikarantina, kebijakan tersebut terus diperdebatkan. Namun sebagian besar penduduk Desa Eyam menerima kebijakan karantina tersebut.

Banyak yang sadar, jika mereka pergi dari Desa Etam, mereka tidak akan menerima sambutan hangat di tempat lain.

Hal ini terjadi ketika seorang wanita meninggalkan Desa Eyam untuk pergi ke pasar di desa terdekat bernama Tideswell.

Desa Tideswell terletak delapan kilometer dari barat Eyam. Saat warga setempat menyadari bahwa dia berasal dari Eyam, mereka melemparinya dengan makanan dan lumpur sembari berterika, “Wabah! Wabah!”

Lingkungan desa menjadi terbengkalai

Desa mulai runtuh ketika banyak orang yang meninggal. Jalanan menjadi hancur, kebun tidak terawat, dan hasil panen tidak terpetik di ladang.

Baca juga: Air Tahiti Nui Pecahkan Rekor Rute Penerbangan Terpanjang Dunia 2020 karena Covid-19

Para penduduk kini bergantung pada paket-paket makanan dari kota-kota sekitarnya. Secara harfiah, mereka tinggal bersama kematian. Tidak tahu siapa yang akan menjadi mangsa selanjutnya dari wabah tersebut.

Beberapa langkah khusus dilakukan untuk menghentikan wabah kian merebak. Pada paruh pertama tahun 1666, sebanyak 200 orang telah meninggal.

Kuburan keluarga Hancock.BBC/Eleanor Ross Kuburan keluarga Hancock.

Setelah seorang tukang batu meninggal, warga setempat tidak memiliki pilihan selain mengukir batu nisan mereka sendiri.

Salah satunya, Elizabeth Hancock, menguburkan sendiri anggota keluarganya. Mayat diseret menggunakan tali yang diikat di kaki korban wabah tersebut guna menghindari kontak dengan mereka.

Kebaktian di gereja-gereja pun dilakukan di luar ruangan untuk mengurangi penyebaran penyakit. Akan tetapi, pada Agustus 1666 wabah kian memberi dampak yang menghancurkan.

Dari populasi yang kini hanya 344 orang, sebanyak 267 orang telah meninggal. Mereka yang tidak terinfeksi wabah dikatakan memiliki sebuah kekebalan khusus.

Hari ini, “kekebalan khusus” tersebut dianggap sebagai kromosom.

Kekenalan tersebut mampu membuat mereka tidak jatuh sakit. Sementara penduduk lain percaya bahwa ritual takhayul seperti merokok dengan tembakau dan berdoa dengan sungguh-sungguh dapat mencegah penyakit tersebut.

Catatan kepala desa akan kehidupan di tengah wabah

Mompesson memiliki catatan dan catatan paroki dari setiap korban wabah selama periode tersebut. Catatan menunjukkan seluruh keluarga yang meninggal secara cepat.

Dalam satu kasus, terdapat satu keluarga yang meninggal dalam seminggu. Pada Agustus 1666, puncak wabah tersebut, lima sampai enam orang meninggal dalam sehari.

Baca juga: Cegah Virus Corona, Jepang Tampung Tunawisma di Hotel

Melalui sebuah surat pada 20 November 1666, Mompesson menuliskan seperti apa kehidupan di Desa Eyam.

“Telinga saya tidak pernah mendengar ratapan sedih. Hidung saya tidak pernah mencium aroma yang mengerikan. Mata saya tidak pernah melihat pemandangan yang mengerikan,” tulis Mompesson, mengutip BBC.

Seorang warga bernama Elizabeth Hancock, mengutip Atlas Obscura, menguburkan suami serta enam dari tujuh anaknya dalam jangka waktu delapan hari pada Agustus 1666.

Meski begitu, infeksi wabah berkurang hanya lebih dari setahun setelah wabah memasuki Desa Eyam. Mompesson menuliskan bahwa infeksi terakhir terjadi pada 17 Oktober 1666.

Hancock merupakan salah satu dari beberapa orang yang selamat dari wabah tersebut. Dia mengubur keluarganya di sebuah ladang bukit di luar desa.

Kuburan para warga Desa Eyam yang batu nisannya diukir sendiri.BBC/Eleanor Ross Kuburan para warga Desa Eyam yang batu nisannya diukir sendiri.

Ladang tersebut dikelilingi oleh tembok batu yang kini menjadi tempat peristirahatan keluarga Hancock dan dijadikan sebagai monumen National Trust.

Karantina mandiri berhasil menghentikan penyebaran wabah

Seorang ahli sejarah di Eyam, Francine Clifford, mengatakan bahwa kombinasi udara dingin dan siklus alami hidupnya wabah tersebut merupakan alasan dari matinya wabah.

Mengutip Business Insider, Clifford mengatakan bahwa merebaknya wabah-wabah di Inggris hampir selalu berlangsung sekitar satu tahun.

Baca juga: Pajak Hotel dan Restoran Diminta Dibebaskan Selama Wabah Virus Corona

Karantina mandiri yang dilakukan penduduk Desa Eyam berhasil mencegah penularan wabah lebih lanjut.

Clifford menuturkan bahwa jika wabah sampai ke Sheffield atau Manchester, kemungkinan besar wabah akan menjadi epidemi yang menyebabkan ribuan kematian.

Cara penduduk Desa Eyam mengetahui mereka telah terinfeksi

Seorang Visitor Operation Manager untuk Eyam Hall di National Trust, Jenny Aldridge, mengatakan kepada BBC bagaimana cara penduduk Desa Eyam mengetahui bahwa mereka telah terinfeksi.

Aldridge menuturkan bahwa mereka mulai mencium bau-bau manis. Katherine, istri Mompesson, mencatat bahwa tercium bau manis pada malam sebelum dia terinfeksi wabah.

Melalui hal tersebutlah Mompesson tahu bahwa istrinya telah terinfeksi.

Satu hal yang mengerikan adalah bau manis tersebut tercium karena kelenjar penciuman seseorang yang mendeteksi bahwa organ-organ dalam mereka mulai hancur dan membusuk.

Bagian dalam sebuah gereja di Desa Eyam.Marmalade Photos/Shutterstock Bagian dalam sebuah gereja di Desa Eyam.

“Ditambah dengan fakta bahwa penyakit-penyakit dianggap dibawa melalui udara seperti racun. Menyebabkan penduduk untuk mengenakan masker berisikan rempah-rempah,” kata Aldridge, mengutip BBC.

“Beberapa bahkan duduk di selokan karena mereka mengira bahwa aromanya yang buruk tidak akan membuat wabah masuk ke sana,” lanjutnya.

Baca juga: Kabar Gembira di Tengah Pandemi Covid-19: Pegunungan Himalaya Terlihat dari India

Saat ini, setiap tahun pada hari Minggu terakhir di bulan Agustus dinamakan sebagai Plague Sunday.

Hari tersebut merupakan upacara peringatan yang diadakan dekat Cucklett Delf, sebuah tempat layanan luar ruangan yang diselenggarakan oleh Pendeta Mompesson selama periode wabah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

6 Taman untuk Piknik di Jakarta, Liburan Hemat Bujet

6 Taman untuk Piknik di Jakarta, Liburan Hemat Bujet

Jalan Jalan
7 Taman Gratis di Yogyakarta, Datang Sore Hari Saat Tidak Terik

7 Taman Gratis di Yogyakarta, Datang Sore Hari Saat Tidak Terik

Jalan Jalan
Istana Kepresidenan Yogyakarta Dibuka untuk Umum, Simak Caranya

Istana Kepresidenan Yogyakarta Dibuka untuk Umum, Simak Caranya

Travel Update
Jadwal Kereta Cepat Whoosh Mei 2024

Jadwal Kereta Cepat Whoosh Mei 2024

Travel Update
Cara Berkunjung ke Museum Batik Indonesia, Masuknya Gratis

Cara Berkunjung ke Museum Batik Indonesia, Masuknya Gratis

Travel Tips
Amsterdam Ambil Langkah Tegas untuk Atasi Dampak Negatif Overtourism

Amsterdam Ambil Langkah Tegas untuk Atasi Dampak Negatif Overtourism

Travel Update
Perayaan Hari Tri Suci Waisak 2024 di Borobudur, Ada Bhikku Thudong hingga Pelepasan Lampion

Perayaan Hari Tri Suci Waisak 2024 di Borobudur, Ada Bhikku Thudong hingga Pelepasan Lampion

Travel Update
Destinasi Wisata Rawan Copet di Eropa, Ternyata Ada Italia

Destinasi Wisata Rawan Copet di Eropa, Ternyata Ada Italia

Jalan Jalan
Kenaikan Okupansi Hotel di Kota Batu Tidak Signifikan Saat Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus

Kenaikan Okupansi Hotel di Kota Batu Tidak Signifikan Saat Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus

Travel Update
KA Bandara YIA Tambah 8 Perjalanan Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus, Simak Jadwalnya

KA Bandara YIA Tambah 8 Perjalanan Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus, Simak Jadwalnya

Travel Update
Kekeringan Parah Ancam Sejumlah Destinasi Wisata Populer di Thailand

Kekeringan Parah Ancam Sejumlah Destinasi Wisata Populer di Thailand

Travel Update
Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus, Kunjungan Wisatawan ke Kota Batu Naik

Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus, Kunjungan Wisatawan ke Kota Batu Naik

Travel Update
Bangka Bonsai Festival Digelar Sepekan di Museum Timah Indonesia

Bangka Bonsai Festival Digelar Sepekan di Museum Timah Indonesia

Travel Update
Cara ke Tebing Keraton Bandung Pakai Angkot, Turun di Tahura

Cara ke Tebing Keraton Bandung Pakai Angkot, Turun di Tahura

Jalan Jalan
Kemenparekraf Dorong Parekraf di Bogor Lewat FIFTY, Ada Bantuan Modal

Kemenparekraf Dorong Parekraf di Bogor Lewat FIFTY, Ada Bantuan Modal

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com