KOMPAS.com – Penurunan kasus virus corona di Eropa membuat beberapa negara Uni Eropa (UE) melonggarkan langkah pencegahan penyebaran virus tersebut.
Mengutip Schengenvisainfo.com, Rabu (6/5/2020), salah satu langkah tersebut terkait dengan larangan masuk dan pembatasan perjalanan.
Namun beberapa negara UE lain, masih skeptis akan keputusan tersebut. Mereka mempertanyakan apakah membuka batas negara merupakan keputusan yang tepat.
Baca juga: Wacana Paspor Imunitas Cile yang Dinilai Kontroversial, Apa Itu?
Pada April 2020, World Health Organization (WHO) khawatir akan beberapa negara UE yang terdampak virus corona dalam skala besar.
Kekhawatiran tersebut terkait kemungkinan negara-negara tersebut membuka pembatasan terlalu cepat, sehingga menimbulkan penyebaran yang lebih luas.
Pandemi corona menyebabkan hancurnya ekonomi global. Salah satu yang paling terdampak adalah industri pariwisata.
Tidak hanya negara-negara Eropa selatan, Jerman juga terkena imbasnya.
Komisi UE telah mengestimasikan perusahaan pelayaran menjadi yang paling terkena pukulan keras, dengan kerugian 90 persen.
Tahun ini, industri agen perjalanan diperkirakan mengalami penurunan pemesanan paket tur hingga 70 persen.
Sebanyak 10 persen dari produk domestik bruto (GDP) dihasilkan oleh industri pariwisata di UE.
Di beberapa negara seperti Yunani atau Malta, industri agen perjalanan bahkan menyumbang 20 – 25 persen GDP.
Menurut Komisi UE, Spanyol diperkirakan menghasilkan 157 miliar dolar AS setara Rp 2 triliun di sektor pariwisata.
Baca juga: WHO Kritik Wacana Paspor Imunitas di Beberapa Negara
Sementara hotel dan operator tur di Jerman menghasilkan 240 miliar Euro setara dengan Rp 3 triliun per tahun.
Chief Executive untuk TUI AG yang merupakan kelompok pariwisata terbesar di dunia, Fritz Joussen, mendesak UE untuk mengangkat pembatasan perjalanan yang telah diberlakukan.
Joussen juga menyarankan agar UE menyusun jadwal perjalanan dan memungkinkan untuk melaksanakan liburan pada 2020.