KEBUN Binatang Surabaya (KBS) menyambut 29 bayi komodo, beberapa bulan terakhir. Mereka baru menetas dalam proses penangkaran sebagai bagian dari program pemuliaan yang dimulai sejak 1990-an.
"Ini menawarkan harapan untuk melestarikan spesies yang terancam punah," kata Direktur Utama Perusahaan Daerah Taman Satwa (PDTS) Kebun Binatang Surabaya (KBS), Chairul Anwar, Selasa (28/6/2022), sebagaimana dikutip AFP.
Kehadiran bayi-bayi komodo ini juga menjadi harapan di tengah keprihatinan global atas nasib keberadaan satwa dari keluarga reptil ini.
Baca juga: Kunjungan Wisata Pengaruhi Perilaku dan Berat Badan Komodo
Tak kurang dari UNESCO, badan di bawah PBB, telah menyatakan keprihatinan, peringatan, dan bahkan permintaan penghentian pengembangan kawasan yang dinilai rentan memberi dampak pada satwa ini.
Reptil terbesar di dunia yang hanya bisa ditemukan di Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini merupakan salah satu warisan dunia.
Saat ini diperkirakan cuma ada 3.458 komodo dewasa dan bayi di alam liar. Riset lain menyebutkan angkanya bahkan tinggal kisaran 2.500.
Baca juga: Komodo Terancam Punah karena Perubahan Iklim, Ini Penjelasan Peneliti LIPI
Bisa tumbuh hingga sepanjang tiga meter dan berbobot 90 kilogram, komodo terancam oleh aktivitas manusia dan perubahan iklim yang merusak habitat mereka. Program penangkaran di Surabaya, Jawa Timur, mencoba menjadi solusi.
Upaya KBS berbuah 29 komodo yang menetas di dalam inkubator selama Februari dan Maret 2022.
"Kami memiliki habitat yang mencerminkan habitat alami Komodo, termasuk kelembaban dan suhunya," kata Chairul.
Baca juga: Polemik Tarif Naik Candi Borobudur dan Paradoks Pariwisata Indonesia
Bayi-bayi yang baru lahir itu ditetaskan dari telur dua komodo betina. Telur-telur mereka kemudian ditempatkan di inkubator agar tidak dimakan induknya atau komodo lain. Komodo betina dapat membuahi telur tanpa membutuhkan komodo jantan.
KBS memulai program pemuliaan komodo pada 1990-an sebagai bagian dari upaya melestarikan spesies di kota berlokasi lebih dari 700 kilometer dari habitat alami komodo di kawasan Taman Nasional Komodo.
Baca juga: Harga Tiket Masuk Taman Nasional Komodo Rp 3,75 Juta per 1 Agustus
Seturut kehadiran bayi-bayi komodo ini, KBS kini menampung 134 komodo, menjadi kelompok populasi terbesar kedua komodo. Populasi terbesarnya tentu saja di kawasan Pulau Komodo, NTT.
Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for the Conservation of Nature/IUCN) pada tahun lalu memperingatkan habitat spesies komodo diperkirakan akan menyusut 30 persen dalam 45 tahun ke depan karena kenaikan permukaan air laut.
Pada 4 September 2021, status komodo pun telah ditetapkan naik dari rentan (vulnerable) menjadi terancam punah oleh IUCN.
Baca juga: IUCN: Komodo Terancam Punah, Masuk Daftar Merah
Terkait bayi-bayi hasil penangkaran, Chairul mengatakan mereka tidak akan dilepas kembali ke alam liar sampai kondisi habitat asli mereka membaik.
"Pulau Komodo masih bekerja untuk meremajakan hutan, (termasuk untuk) yang memberi makan mangsa alami komodo yang menurun seperti rusa," kata dia.
Pada 2021, UNESCO menerbitkan keputusan yang meminta evaluasi atas program pengembangan pariwisata di kawasan Taman Nasional Komodo. Ini terkait dengan pengembangan Rencana Induk Pariwisata Terpadu di kawasan tersebut.
UNESCO meminta Indonesia memberikan rincian informasi tentang upaya pelestarian kawasan terkait nilai universal luar biasa (outstanding universal value/OUV) dalam rencana tersebut.
Baca juga: Pelaku Pariwisata Tolak Kenaikan Harga Tiket dan Pembatasan Pengunjung Taman Nasional Komodo
Di antara yang diminta adalah rincian rencana untuk pengembangan pariwisata yang meminimalkan wisata massal untuk memastikan perlindungan komodo.
Tercatat sebagai dokumen Decision 44 COM 7B.93, UNESCO menyatakan kepuasan atas upaya penelitian dan pemantauan jangka panjang komodo yang mencatatkan tren populasi stabil.
Bersamaan, UNESCO meminta Indonesia melanjutkan pendataan populasi komodo secara teratur dan menerapkan langkah pengelolaan dalam konteks usulan peningkatan pariwisata.
Meski demikian, UNESCO memberikan catatan untuk sejumlah proyek infrastruktur di kawasan habitat komodo. Badan di bawah PBB ini mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk memenuhi keharusan menyampaikan informasi sebelum melakukan kegiatan infrastruktur di kawasan tersebut, termasuk restorasi dan konstruksi.
Baca juga: Sebelum Borobudur Ada
Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) atas proyek-proyek infrastruktur di Pulau Rinca yang berada di kawasan habitat komodo pun diminta UNESCO untuk direvisi. Pemerintah Indonesia juga diminta untuk menginformasikan lebih lanjut soal konsesi pariwisata serta revisi zonasi di kawasan itu.
Hingga perbaikan Amdal dimaksud diserahkan dan dievaluasi oleh IUCN, UNESCO mendesak Pemerintah Indonesia menghentikan semua proyek pariwisata di dalam dan di sekitar kawasan habitat komodo yang berpotensi berdampak pada OUV ini.
Masih terkait dengan Amdal itu, UNESCO meminta Pemerintah Indonesia mengundang misi bersama Pusat Warisa Dunia/Pemantauan Reaktif IUCN ke kawasan habitat komodo untuk langsung menilai dampak pembangunan yang sedang berlangsung sekaligus meninjau status konservasinya.
Baca juga: Tim UNESCO dan IUCN ke TN Komodo, Tinjau Pembangunan Resort Loh Buaya
UNESCO menyatakan keprihatinan pula terhadap kurangnya peralatan operasional dan kapasitas teknis untuk mengelola wilayah laut di kawasan habitat komodo.
Karenanya, UNESCO meminta Pemerintah Indonesia segera memperkuat manajemen laut dan kapasitas penegakan hukum di kawasan tersebut terutama terkait penangkapan ikan dan penambatan kapal ilegal.
Bersamaan, upaya ini diminta disertai dengan pengalokasian anggaran yang memadai untuk penelitian kelautan, pemantauan, pendidikan, dan kepatuhan peraturan kelautan.
Segala catatan dan permintaan UNESCO dimaksud seharusnya dipenuhi Pemerintah Indonesia maksimal pada 1 Februari 2022. Diserahkan ke Pusat Warisan Dunia, laporan itu kemudian akan diperiksa oleh Komite Warisan Dunia pada sesi konvensi ke-45 mereka.
Baca juga: KLHK: Pengunjung di Taman Nasional Komodo Perlu Dibatasi
Serentet permintaan UNESCO tersebut seturut kekhawatiran atas data yang mencuat dari rencana pengembangan kawasan Taman Nasional Komodo. Salah satunya adalah rencana meningkatkan angka kunjungan turis ke kawasan itu hingga 500.000 per tahun, yang naik dua kali lipat dibanding sebelum pandemi Covid-19.
Proyeksi angka kunjungan itu mengundang pertanyaan atas visi Indonesia untuk mengubah model pariwisata dari massal ke pendekatan yang lebih berkelanjutan. Pertanyaan ini menjadi rekomendasi yang mendasari permintaan revisi Amdal dan rincian informasi lebih lanjut tentang rencana pengelolaan pariwisata beserta perkiraan dampaknya.
Kekhawatiran bertambah seturut kehadiran regulasi yang membolehkan pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut tanpa Amdal. Juga, didapati ada tambahan sejumlah konsesi pariwisata di kawasan ini seturut perubahan zonasi.
Baca juga: Polemik Pengecualian Amdal dalam Pengembangan TN Komodo
Keputusan pada 2021 itu bukanlah proses sesaat atau mendadak diambil. Misal, isu kurangnya peralatan operasional dan kapasitas teknis untuk pengelolaan laut di kawasan Taman Nasional Komodo terkait penanganan masalah dan konservasi telah menjadi perhatian signifikan UNESCO sejak 2014.
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Catatan: Konten dari harian Kompas yang dikutip dalam tulisan ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.