Di pelataran alun-alun Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, panggung pertunjukan wayang golek berada tepat di depan Imah Gede, rumah silaturahmi warga. Pameran hasil kerajinan warga disuguhkan di sisi timur alun-alun berdampingan dengan panggung hiburan.
Kemeriahan perayaan Seren Taun semakin lengkap saat lantunan lagu dangdut penyanyi pongdut (jaipong dangdut) hampir tak putus semalam suntuk menemani warga yang berkerumun berjoget mengusir dingin.
Hebatnya, seluruh keperluan upacara disiapkan secara swadaya dari hasil mengumpulkan iuran kolektif dari warga. Bunyi rentetan petasan terdengar bersahutan dari alun-alun tanda dimulainya perayaan Seren Taun, Minggu (24/8/2014).
Di tengah alun-alun sepuluh orang wanita berkebaya hitam terlihat memukul-mukul lesung dengan alu menciptakan bunyi-bunyian berirama. Ribuan warga dan tamu memadati pinggir alun-alun, seolah tak sabar ingin menyaksikan kemeriahan upacara Seren Taun.
Bagi tamu yang datang dari jauh, rasa lelah setelah melewati jalan berbatu terjal serta tanjakan dan turunan curam sejauh 20 kilometer dari Kampung Cikadu sirna, larut dalam kemeriahan Seren Taun. "Nggak nyesel datang jauh-jauh dari Jakarta ke sini, biar harus repot lewat jalan batu dan naik turun gunung sampai mobil selip di tanjakan," ujar Mutiara yang sengaja datang bersama anak dan suaminya.
Seren sendiri berarti seserahan atau menyerahkan, taun berarti tahun. Seren Taun dimaknai warga sebagai upacara penyerahan sedekah (tatali) hasil panen padi selama setahun serta memohon berkah pada Tuhan agar hasil panen tahun mendatang lebih meningkat. Sebagai masyarakat agraris, kehidupan masyarakat adat kasepuhan bergantung dari budidaya padi. Secara turun-temurun mereka menanam padi menggunakan sistem lahan kering atau huma maupun lahan basah atau persawahan.
Mereka juga memercayai bahwa padi merupakan wujud seorang dewi yaitu Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Jika mereka merawat padi dengan baik dari ditabur hingga dipanen, maka Nyi Pohaci Sanghyang akan memberi kesuburan atas hasil panen yang melimpah. Begitu pentingnya padi dalam konsep hidup masyarakat adat Kasepuhan, mereka pantangan membuang dan memperjualbelikan padi.
"Semua hasil panen padi dimanfaatkan untuk kebutuhan warga kasepuhan, tidak ada yang dijual. Meskipun hanya menanam padi sekali dalam setahun, alhamdulillah warga tidak pernah kekurangan beras. Di sini warga juga pantang membuang nasi. Akan sakit fisik jika membuang nasi," ujar Upar Suparman, warga Kasepuhan Ciptagelar.
Usai pocong padi pertama dimasukkan ke Leuit Si Jimat, warga mengikuti memasukkan padi ke leuit karuhun atau lumbung komunal milik Kasepuhan. "Mulanya Leuit Si Jimat digunakan untuk cadangan warga jika seandainya terjadi musim paceklik. Tapi saat ini warga tidak pernah mengambil dari Leuit Si Jimat, karena di setiap kampung di Kasepuhan terdapat lumbung komunal yang jumlahnya ratusan dan bisa dimanfaatkan warga," ujar Humas Kasepuhan, Yoyoyogasmana.
Dari hasil sensus dalam tiga hari yang biasa disebut Ponggokan saat ini terdapat 8.305 lumbung padi di seluruh Kasepuhan. Rata-rata tiap lumbung mampu menampung 500 hingga 1.000 pocong (ikat) padi.
Yoyoyogasmana menambahkan bahwa panen tahun ini lain dari biasanya. Abah Ugi Sugriana Rakasiwi yang biasanya hanya membuat tiga hingga empat lumbung padi baru tiap tahun, kali ini membuat 11 lumbung baru untuk menampung panen padi. Upacara puncak Seren Tahun pun selesai setelah pocong padi masuk ke dalam Leuit Si Jimat.
Pengelolaan lahan dan hasil panen padi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar menjadi bukti kearifan lokal untuk kemandirian dan ketahanan pangan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.