Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Angklung Bungko dan Redupnya Tarian Perang

Kompas.com - 10/03/2016, 07:23 WIB
JAUH dari ingar-bingar kota di pesisir utara Jawa, angklung bungko, seni tari dan musik yang usianya diperkirakan lebih dari lima abad, berupaya bertahan.

Seni tradisi khas Desa Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, itu kian hening menghadapi derap zaman.

Jalan rusak berdebu di pesisir utara Cirebon, sekitar 26 kilometer dari pusat Kota Cirebon, menjadi penanda menuju Desa Bungko yang dilewati aliran Kali Situnggak.

Rumah-rumah nelayan yang sebagian berdinding anyaman bambu berdiri di tepi kali yang mengeluarkan aroma amis laut itu, bersanding dengan rumah-rumah lainnya yang lebih besar berdinding bata.

Nelayan desa itu, kini, lebih banyak yang menjadi buruh lantaran terjerat tengkulak. Perahu yang mereka gunakan untuk melaut adalah hasil mengutang dari tengkulak atau bakul ikan. Mereka membayar utang itu dengan penjualan ikan yang harganya ditekan oleh bakul.

Adina bin Lamiko (65), nelayan yang sekaligus seniman tari angklung bungko, hampir setiap hari bergulat dalam asin air laut dan tumpukan jala. Di sela-sela kegiatannya sebagai nelayan, Adina adalah penari angklung bungko.

”Angklung ini diberikan turun-temurun,” ucap Adina, ketika ditemui beberapa waktu lalu di rumahnya.

Adina pun membuka selubung kain putih yang menutupi alat musik tersebut. Tersembullah angklung tua dengan warna bambunya menghitam, dihiasi rumbai kain warna merah, hijau, dan biru.

Angklung tua itu dipercaya berasal dari masa Syekh Benting atau Ki Gede Bungko, sesepuh Desa Bungko, sekaligus Panglima Perang Angkatan Laut Kesultanan Cirebon di era Sunan Gunung Jati sekitar abad ke-15.

Angklung itu tak dapat dimainkan lagi karena sudah rapuh. Warga memercayai angklung itu berkekuatan magis.

”Zaman dulu, jika anak sakit, ketika angklung bungko ini dimainkan keliling kampung, dan diiringi tarian, anak itu bisa sembuh,” ujar Adina yang mewarisi angklung berukuran 40 x 60 sentimeter itu dari ayahnya, Kartina.

Awalnya, Adina memiliki empat angklung dalam kondisi baik. Namun, satu per satu angklung wasiat itu hilang. Ada pula yang rusak dimakan waktu. Kini tersisa satu. Adina berkeras hanya keluarganya yang berhak menjaga angklung itu.

KOMPAS/RINI KUSTIASIH Adina bin Lamiko (65), salah satu penari angklung bungko dari Desa Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menunjukkan angklung tua yang diperkirakan dibuat pada abad ke-15. Kesenian angklung bungko merupakan paduan antara seni musik dan tari yang diiringi alunan angklung.
Kisah angklung bungko dan riwayat Syekh Benting pun ada berbagai versi. Salah satu versi menyebutkan, angklung itu dimainkan di pendopo Syekh Benting untuk mengumpulkan warga sebelum Syekh Benting memulai dakwah Islam.

Saat angklung dimainkan, murid-murid Syekh Benting yang adalah nelayan menari serempak.

Adina mengatakan, gerakan tari yang mengiringi ansambel angklung yang berjumlah 10-13 orang itu merupakan tarian perang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com