KOMPAS.com - Kisah Putri Mandalika adalah legenda dari Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terkenal.
Dikutip dari IndonesiaKaya, Jumat (23/02/2024) Nama Mandalika ini begitu dikenang hingga menjadi bagian dari upacara adat tahunan, yakni Bau Nyale kini juga menjadi festival pariwisata.
Bau Nyale merupakan tradisi yang berasal dari masyarakat Sasak, suku terbesar di Lombok. Dalam bahasa Sasak, bau berarti menangkap dan nyale merujuk pada cacing laut.
Baca juga: 12 Wisata Lombok NTB Selain Pantai, Ada Goa dan Bukit
Oleh karena itu, Bau Nyale adalah kegiatan yang dilakukan secara rutin oleh masyarakat untuk menangkap cacing laut pada tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan tradisional Sasak, yang jatuh antara bulan Februari dan Maret.
Lihat postingan ini di Instagram
Penduduk lokal meyakini bahwa nyale adalah manifestasi atau wujud dari Putri Mandalika, yang merupakan putri dari Raja Tonjang Beru dan Dewi Seranting dalam cerita kuno suku Sasak.
Putri Mandalika digambarkan sebagai seorang perempuan yang sangat cantik dan menjadi pusat perhatian banyak pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok, termasuk Kerajaan Johor, Kerajaan Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan Kerajaan Beru.
Sayangnya, hal itu malah bisa menimbulkan peperangan saat sang putri memilih salah satu pangeran karena pangeran dari kerajaan lain akan tidak terima.
Baca juga: Festival Pesona Bau Nyale 2023, Ada Tari Kolosal hingga Penobatan Putri Mandalika
Putri Mandalika pun melakukan ritual meditasi untuk mengetahui langkah yang sebaiknya diambil terkait para pangeran yang meminangnya.
Hasil dari meditasi tersebut memberikan petunjuk kepada Putri Mandalika untuk mengundang seluruh pelamar ke Bukit Seger, Mandalika.
Namun saat semua berkumpul, Putri Mandalika memutuskan untuk tidak memilih satupun dari mereka karena cintanya yang besar kepada masyarakat serta keinginannya agar semua hidup dalam damai dan harmoni. Akhirnya, Putri Mandalika memilih untuk terjun ke laut.
Setelah sang putri terjun ke laut, penduduk setempat melakukan pencarian untuk menemukannya. Namun, yang ditemukan hanyalah sekelompok cacing laut yang kemudian diyakini sebagai perwujudan putri dan menjadi awal mula tradisi Bau Nyale.
Prosesi tradisi bau nyale biasanya dimulai dengan pertemuan tokoh adat dalam acara Sangkep Wariga. Mereka menentukan hari atau tanggal yang tepat, yaitu tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan Sasak, untuk pelaksanaan tradisi nyale.
Baca juga: 4 Fakta Tradisi Bau Nyale di Lombok, Berawal dari Putri Mandalika
Langkah berikutnya adalah Pepaosan, yakni saat lontar dibacakan oleh para mamik atau tokoh adat sehari sebelum tradisi Bau Nyale. Acara ini biasanya berlangsung di Bale Sakepat, bangunan tradisional dengan empat tiang.
Para mamik membacakan lontar sambil menyanyikan beberapa pupuh atau nyanyian tradisional khas masyarakat Sasak.
Proses perayaan tradisi Bau Nyale melibatkan sejumlah perlengkapan, termasuk daun sirih, kapur, dua gunungan berisi jajanan tradisional khas Sasak, kembang setaman dengan sembilan jenis bunga, serta buah-buahan tradisional.
Baca juga: Festival Bau Nyale 2024 di Lombok Jatuh pada 29 Februari dan 1 Maret
Acara ini diselenggarakan pada waktu dini hari sebelum warga memulai penangkapan nyale di laut. Pelaksanaan upacara dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan dikenal dengan nama Nede Rahayu Ayuning Jagad.
Prosesi dilakukan dengan cara para tetua adat berkumpul dalam lingkaran sambil meletakkan jajanan dalam bentuk gunungan di tengah mereka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.