AGAM, KOMPAS.com - Jari jemari Leo (52) dengan cekatan membentuk benang-benang perak di depannya. Mata tuanya masih awas membentuk setiap sentimeter benang perak untuk menjadi sulur hiasan dari bros perak.
Buat Leo, kerajinan perak bukan hal yang sulit, ia khatam belajar dari muda.
"Saya belajar ini dari kakek dan ayah saya waktu kecil. Kerajinan perak ini sudah ada dari zaman Belanda dulu," kata Leo saat ditemui KompasTravel di kediamannya di Koto Gadang, Sumatera Barat, Senin (1/5/2017).
(BACA: Inilah yang Membuat Kerajinan Perak Kotagede Diburu Pelancong)
Kerajinan perak adalah keahlian yang diturunkan turun temurun oleh kaum laki-laki di Koto Gadang. Sedangkan kaum perempuan punya keahlian lain yang diturunkan yakni menyulam.
"Di sini (perajin) individu tak mau jadi anak buah orang. Makanya agak berbeda dengan kota lain yang sudah jadi industri, di sini perajin ingin bebas," kata Leo.
Meski rata-rata perajin memiliki toko dan pelanggan sendiri, tetapi menurut Leo karena kecenderungan individualis tersebut akhirnya promosi perak di Koto Gadang berjalan lebih lambat daripada kota penghasil perak seperti Kotagede di Yogyakarta atau Gianyar di Bali.
(BACA: Sumbar Promosi Wisata Halal dan Kuliner di Norwegia)
Kendala lain untuk kerajinan perak di Koto Gadang, menurut Leo, karena minimnya penerus. "Namanya anak muda, punya kemauannya sendiri," sebut Leo.
Pada zaman Belanda, kerajinan perak dari Koto Gadang ini sudah diekspor hingga ke luar negeri.
Saat ini, penjualan kerajinan perak di Koto Gadang terlihat meningkat pada musim liburan, saat Kota Bukittinggi ramai wisatawan.