Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mencari Permata Tersembunyi di Yogyakarta

JAKARTA, KOMPAS.com - Deru sepeda motor terdengar jelas dari pematang sawah Desa Sendari, Sleman, Yogyakarta. Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB, matahari mulai tenggelam dan memantulkan semburat warna oranye-merah muda.

Di tengah sawah luas dengan padi yang mulai menguning hanya ada saya dan rekan saya di atas sepeda motor. Tak tampak orang atau kendaraan lalu lalang selain kami berdua.

"Ini benar tidak ya Google Mapsnya?" tanya rekan saya mulai ragu.

"Kalau kata internet sih arahnya sudah benar," kata saya dengan mantap.

Padahal, saya mulai ragu dengan petunjuk peta digital. Kami jauh dari keramaian, di tengah desa entah berantah. Sore itu kami dalam perjalanan menuju penginapan yang dipesan atas rekomedasi teman.

Sebuah foto di Instagram yang menggambarkan teman sedang berpakaian tradisional berbahan lurik menarik perhatian saya.

Belum lagi berbagai kegiatan seru seperti berkeliling desa naik kerbau, membuat wayang suket yang mulai langka, membatik, dan menonton tarian tradisional. Deretan foto di media sosial tersebut semakin memantapkan saya untuk memilih penginapan ini jika berlibur ke Yogyakarta.

Usai lima menit berkendara dengan pemandangan sawah, tampak jalan desa yang lebih besar dengan tepi jalan dipenuhi pohon jati. Petunjuk penginapan sudah mulai tampak. Ekspresi wajah kami tak tergambarkan, antara lega dan bahagia. Akhirnya, 45 menit bersepeda motor dari Kota Yogyakarta tujuan mulai tampak.

Sebuah rumah joglo dengan papan penanda nama akomodasi yang kami pesan menghentikan laju sepeda motor. Kami sampai di depan rumah adat khas Yogyakarta dan Jawa Tengah yang didominasi kayu serta atap trapesium sebagai ciri khas.

Rumah ini tampak apik dan serasi dengan suasana pedesaan. Memberi sensasi hangat pada perasaan. Saya seakan pulang ke rumah nenek dan ditunggu makanan rumah yang lezat.

Sepeda motor kami parkirkan. Begitu memasuki joglo, kami baru sadar bahwa ternyata rumah tersebut dimodifikasi menjadi gerbang masuk. Kami lantas mengikuti jalur setapak yang penuh tanaman hias dan pohon-pohon aneka buah.

Perjalanan berakhir di sebuah pendopo besar yang ternyata restoran. Pemandangan halaman hijau nan luas dan deretan rumah joglo aneka bentuk memanjakan mata. 

"Selamat datang di Omah Kecebong, sudah memesan kamar?" sambut petugas penginapan dengan sopan.

Rupanya tas ransel besar kami sudah menggambarkan bahwa kami akan menginap di Omah Kecebong.

Permata tersembunyi itu bernama Omah Kecebong

Sesampainya di Omah Kecebong, kami disajikan es wedang yang melegakan dahaga. Tak lama seorang pria berbadan tegap memperkenalkan diri sebagai pemilik Omah Kecebong, Hasan Prayogo. Ia bertanya kepada kami dari mana mengetahui penginapannya. Kami menjawab dari rekomendasi teman di media sosial. Ia pun tampak tak heran.

Hasan bercerita bagamana bisnis penginapannya terbentuk. Dari tadinya sebuah taman buah di tengah sawah berubah menjadi penginapan yang menawarkan berbagai aktivitas menyenangkan.

"Di Omah Kecebong selain menginap kami menyediakan banyak aktivitas bagi wisatawan, seperti foto dengan kebaya dan beskap, naik bajingan (gerobak sapi), atau membuat wayang jerami suket. Kami mengajak warga desa untuk bekerja sama pada setiap kegiatan wisatawan," jelas Hasan di Omah Kecebong, Yogyakarta, Kamis (10/5/2018).

Untuk akomodasi, ada lima rumah joglo di Omah Kecebong terdiri dari Omah Gladak, Omah Lawas, Omah Antik, Omah Nduwur, dan Omah Mburi. Sedangkan untuk rumah bambu terdiri dari Omah Bamboe dan Omah Barak. Setiap rumah memiliki kapasitas tamu yang berbeda. Mulai dari 2-18 orang tamu.

Setiap rumah sudah dilengkapi AC, televisi, dan air panas di kamar mandi. Untuk fasilitas lainnya, seperti dapur, disesuaikan dengan jenis rumah. Contohnya pada Omah Gladak terdapat dapur dengan alat masak dan peralatan makan lengkap. Harga menginap di Omah Kecebong juga beragam. Mulai Rp 750.000 per malam, sudah termasuk sarapan.

Jika permintaan akan kamar tinggi, Omah Kecebong juga menawarkan pilihan menginap di tenda kemah dengan harga yang lebih terjangkau. Dihargai Rp 225.000 untuk kapasitas tenda dua orang, sudah termasuk matras, selimut, lampu gantung, kompor dan gas, nesting, serta sarapan.

Selain penginapan, Omah Kecebong juga memiliki halaman rumput luas dan fasilitas outbound yang cocok untuk wisatawan kelompok. Terdapat juga pendopo tempat cafe dan restoran dengan pemandangan sawah dan pedesaan yang asri. Restoran dan cafe ini menawarkan berbagai hidangan khas Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menggugah selera.

Hasan rupanya sadar bahwa penginapannya memiliki lokasi yang cukup jauh dari pusat keramaian, sekitar 10 kilometer dari Tugu Yogyakarta. Untuk itu ia menciptakan pasar sendiri, terutama bagi wisatawan milenial yang haus akan pengalaman lokal dan hasil foto nan Instagramable.

Hasan merancang paket aktivitas yang menarik bagi wisatawan milenial dan bekerja sama dengan fotografer profesional di Yogyakarta.

Ia membuat paket berfoto dengan kebaya dan beskap seharga Rp 150.000 per orang sudah termasuk sewa pakaian lengkap. Ada juga paket berfoto dengan pakaian tradisional, berkeliling desa naik gerobak sapi, dan makan siang bersama yang dihargai Rp 225.000 per orang.

Setiap kegiatan diabadikan oleh fotorgafer profesional yang siap memberi hasil foto digital beresolusi tinggi, sudah termasuk dalam harga paket aktivitas. Jadi jika wisatawan tak ingin menginap di Omah Kecebong, tetap dapat menikmati pengalaman yang menyenangkan.

Aktivitas seru yang diabadikan dalam foto-foto hasil jepretan fotografer profesional tersebut rupanya efektif menjadi cara promosi Omah Kecebong. Semakin seru kegiatan, semakin baik kualitas foto, maka semakin senang tamu Omah Kecebong membagikan pengalaman liburan lewat media sosial.

Di Instagram, Omah Kecebong punya lebih dari 4.000 pengikut, dengan foto bertanda tagar #omahkecebong dan #omahkecebongjogja lebih dari 1.500 foto.

Ungkapan word of mouth atau promosi dari mulut ke mulut agaknya kurang efektif di kalangan wisatawan milenial. Hasan membuktikkan promosi touch to touch atau sentuhan jari dari layar smartphone jelas lebih jitu untuk menggaet wisatawan milenial.

Namun tentunya sesuai kata Hasan, sebagus apapun hasil foto yang dibagikan tamu Omah Kecebong, pelayanan staf, kelezatan makanan, dan kebersihan akomodasi tetap menjadi faktor utama. Hich tech atau teknologi tinggi tetap memerlukan high touch atau pelayanan yang baik dalam dunia pariwisata.

Warga desa yang juga menjadi pengendara gerobak kerbau, pelatih wayang suket dan batik, serta penari tradisional diberi pelatihan untuk menghadapi wisatawan khususnya milenial.

Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam Seminar Nasional Pariwisata Era Ekonomi Digital di Balairung Soesilo Sudarman, Kementerian Pariwisata, Jakarta Pusat, Senin (30/7/2018) pernah menyebutkan bahwa penggunaan teknologi digital dianggap empat kali lebih efektif dibandingkan media konvensional dalam mempromosikan pariwisata.

“Aneh kalau kita tidak digital. Kostumer kita sudah berubah, 70 persen search and research (pencarian dan penelusuran) sudah digital,” ujar Arief.

Teknologi digital pada pariwisata membuat tren tersendiri di kalangan wisatawan milenial. Kini hanya perlu mencari (look), memesan (book), dan membayar (pay) untuk mendapatkan layanan wisata.

Teknologi digital tak hanya menciptakan tren di kalangan wisatawan milenial, tetapi juga memberi dampak yang besar pada bisnis pariwisata khususnya milennial tourism.

Terlebih 90 persen wisatawan mendapat informasi wisata lewat internet. Begitu pula dengan pemesanan akomodasi 89 persen dan pemesanan transaportasi 88 persen dilakukan lewat internet.

Perkembangan pariwisata digital menurut Arief merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Untuk menghadapi perkembangan tersebut dapat menerapkan strategi 3C, yaitu confront (melawan), compete (berkompetisi), dan cooperate (bekerja sama).

Jika diperhatikan tiga strategi tersebut dipraktikkan oleh Omah Kecebong. Mereka berhasil bersaing dengan akomodasi dari pusat keramaian di tengah kota. Omah Kecebong bekerja sama dengan berbagai stakeholders termasuk warga sekitar, fotografer profesional, dan bahkan wisatawan milenial dengan media sosial masing-masing.

Tren pariwisata digital berhasil memunculkan model binis baru yang lebih efisien dan melahirkan para pebisnis pariwisata handal. Mereka berani melawan merek terkenal dengan modal besar.

Apalagi Kementerian Pariwisata kini juga mendesain dua jenis “produk” yang mampu menarik bagi kalangan milenial, yakni destinasi digital dan nomadic tourism.

Keduanya menjadi semangat Kementerian Pariwisata untuk memikat milenial yang ditengarai memiliki perilaku khusus ketika melancong, seperti banyak mengambil selfie hingga suka bertualang ke destinasi-destinasi yang belum populer.

Hal ini juga sejalan dengan pengertian pariwisata milenial versi Kementerian Pariwisata. Ketika  milenial memanfaatkan pengunaan platform digital dalam segala aspek wisata. Mulai dari inspirasi mendapat ide liburan, melakukan riset dan perencanaan liburan, memesan pesawat dan hotel, berada di bandara sampai tiba di destinasi dan menikmatinya lewat selfie.

Pada akhirnya internet yang membawa wisatawan milenial seperti saya dan teman-teman untuk berani menjelajah dan mencari permata tersembunyi (hidden gem) seperti Omah Kecebong.

"Lambatkan motormu, biar kita lihat cahaya matahari terbenam yang memantul di padi ini. Jarang-jarang kita lihat begini di Jakarta. Terima kasih kepada internet," kata saya berusaha mencairkan susana tegang saat mencari Omah Kecebong di tengah sawah sambil mengeluarkan smartphone dan mengabadikannya ke Instagram.

https://travel.kompas.com/read/2019/08/15/150700427/mencari-permata-tersembunyi-di-yogyakarta

Terkini Lainnya

Gunung Everest, Atap Dunia yang Penuh Sampah

Gunung Everest, Atap Dunia yang Penuh Sampah

Travel Update
Angkringan Timbangan Tebu di Yogyakarta yang Hits dan Wajib Dikunjungi

Angkringan Timbangan Tebu di Yogyakarta yang Hits dan Wajib Dikunjungi

Jalan Jalan
JAB Fest Kombinasikan Seni dan Literasi, Dipercaya Dongkrak Wisatawan Minat Khusus di DIY

JAB Fest Kombinasikan Seni dan Literasi, Dipercaya Dongkrak Wisatawan Minat Khusus di DIY

Travel Update
8 Oleh-oleh Khas Gorontalo, Ada Kopi hingga Kain

8 Oleh-oleh Khas Gorontalo, Ada Kopi hingga Kain

Jalan Jalan
Rencana Pemindahan Lukisan Mona Lisa, Apa Masih di Louvre?

Rencana Pemindahan Lukisan Mona Lisa, Apa Masih di Louvre?

Travel Update
5 Pusat Oleh-oleh di Makassar, Bawa Pulang Makanan atau Kerajinan Tangan

5 Pusat Oleh-oleh di Makassar, Bawa Pulang Makanan atau Kerajinan Tangan

Jalan Jalan
6 Hotel Murah di Cilacap, Tarif mulai Rp 194.000

6 Hotel Murah di Cilacap, Tarif mulai Rp 194.000

Hotel Story
5 Tips Liburan dengan Open Trip yang Aman dan Menyenangkan

5 Tips Liburan dengan Open Trip yang Aman dan Menyenangkan

Travel Tips
3 Juta Wisatawan Kunjungi Banten Saat Libur Lebaran 2024, Lebihi Target

3 Juta Wisatawan Kunjungi Banten Saat Libur Lebaran 2024, Lebihi Target

Travel Update
Cara Menuju ke Wisata Pantai Bintang Galesong, 1 Jam dari Makassar

Cara Menuju ke Wisata Pantai Bintang Galesong, 1 Jam dari Makassar

Jalan Jalan
The 2nd International Minangkabau Literacy Festival Digelar mulai 8 Mei

The 2nd International Minangkabau Literacy Festival Digelar mulai 8 Mei

Travel Update
Wisata Pantai Bintang Galesong, Cocok untuk Liburan Bersama Rombongan

Wisata Pantai Bintang Galesong, Cocok untuk Liburan Bersama Rombongan

Jalan Jalan
Padatnya Wisatawan di Bali Disebut Bukan karena Overtourism

Padatnya Wisatawan di Bali Disebut Bukan karena Overtourism

Travel Update
Kunjungan Wisata Saat Lebaran 2024 di Kabupaten Malang Turun, Faktor Cuaca dan Jalan Rusak

Kunjungan Wisata Saat Lebaran 2024 di Kabupaten Malang Turun, Faktor Cuaca dan Jalan Rusak

Travel Update
Kemenparekraf Tegaskan Bali Belum Overtourism, tapi...

Kemenparekraf Tegaskan Bali Belum Overtourism, tapi...

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke