Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pariwisata Indonesia dan Budaya Makan, Apa Hubungannya?

JAKARTA, KOMPAS.com – Menurut Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono, pariwisata Indonesia menggantungkan masa depannya pada budaya kuliner dan bisnis gastro diplomasi.

Hal ini dikatakan dalam acara Seminar Nasional yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan Indonesian Gastronomy Association (IGA) di Kementerian Luar Negeri Indonesia, Jakarta, Kamis (17/10/2019).

Siswo mengatakan wisatawan baik mancanegara maupun nusantara yang datang ke Indonesia mengenal makanan atau kuliner dari segi konteks budayanya. Konteks budaya ini dapat diterima atau dipahami oleh wisatawan apabila ada kontak antara wisatawan dengan masyarakat lokal.

“Artinya mereka datang ke Indonesia, kemudian merasakan masakan Indonesia ketika mereka pulang lalu cerita ke keluarganya tentang makanan Indonesia, itu salah satu cara dan mungkin itu yang paling efektif, karena tidak semua orang punya kesempatan datang ke Indonesia, dan ini salah satu promosi,” kata Siswo kepada Kompas.com, Kamis (17/10/2019).

Kegiatan gastronomi diplomasi erat kaitannya dengan budaya. Hal ini berpengaruh pada indeks state influence Indonesia yang dipaparkan bahwa konteks pengaruh budaya dengan gastronomi menjadi yang tertinggi.

Oleh karena itu munculah diplomasi budaya, dan gastronomi diplomasi termasuk di dalamnya.

Tak hanya itu, gastronomi diplomasi juga berpengaruh pada capaian ekonomi negara. Hal ini dipengaruhi juga dengan faktor perdagangan barang, seperti misalnya pedagang menjual nasi goreng yang mana menjadi bentuk perdagangan jasa. Restoran juga menjadi bentuk perdagangan jasa.

Siswo juga mengatakan, gastronomi erat kaitannya dengan banyak hal, seperti perkebunan, smallholders.

“Misalnya orang mengembangkan perkebunan khusus untuk gastronomi seperti lengkuas dan sebagainya, dan kemudian berkaitan dengan logistik karena barang-barang itu harus disuplaikan ke luar negeri ke pusat-pusat di mana banyak orang Indonesia, karena orang Indonesia banyak yang buka restoran di sana,” jelasnya.

Maka dari itu menurut Siswo, semakin besar diaspora yang ada maka semakin besar pula peluang orang Indonesia di luar negeri untuk membuka restoran. Hal ini berkaitan dengan performance bahwa makanan lekat dengan budayanya.

Lanjut Siswo, contohnya makanan Turki yang bisa laku keras di Eropa karena gaya hidup yang cocok di sana. Pagi hari di Eropa, orang terburu-buru pergi ke kantor sembari makan sandwich sambil berlari ke stasiun atau halte.

Sementara Turki memiliki makanan khas bernama kebab yang mana serupa dengan sandwich. Dalam kata lain, kebab dan sandwich bisa dimakan sambil berlari ketika terburu-buru pergi ke kantor.

“Coba bayangin di Indonesia, lari-lari sambil bawa soto kan gak mungkin, jadi yang harus kita lihat untuk pengembangan gastronomi itu harus dicari makanan yang cocok, misalnya lemper,” tambahnya.

Masalah budaya berpengaruh besar terhadap gastronomi diplomasi di Indonesia. Siswo berharap bahwa pelaku-pelaku bisnis kuliner di Indonesia jangan memaksa budaya luar untuk menyamai budaya Indonesia. Sebaliknya, Indonesia yang harus menyesuaikan budaya luar.

https://travel.kompas.com/read/2019/10/18/110000727/pariwisata-indonesia-dan-budaya-makan-apa-hubungannya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke