KOMPAS.com - Sebagai salah satu kota dengan mayoritas penduduk muslim, Aceh memiliki sejumlah tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Salah satunya adalah mak meugang atau meugang. Tradisi ini identik dengan masak dan makan daging.
Umat Islam di Aceh akan menggelar tradisi meugang jelang Hari Raya Idul Adha 2023, yang jatuh pada Kamis, 29 Juni 2023 mendatang.
Ada sejumlah fakta menarik tradisi meugang yang menarik untuk diketahui, sebagai berikut.
Tradisi meugang bukanlah hal asing bagi masyarakat Aceh. Lantas, apa itu tradisi meugang Aceh?
Melansir dari laman Warisan Budaya TakBenda Indonesia Kemendikbud, meugang merupakan tradisi memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga, kerabat, dan yatim piatu oleh masyarakat Aceh.
Tradisi ini telah mengakar dalam masyarakat Aceh, sehingga hampir semua wilayah di Serambi Mekkah menggelar tradisi tersebut.
Meskipun daging sapi menjadi yang utama dalam tradisi meugang, namun ada juga masyarakat yang memasak daging kambing, kerbau, ayam, dan bebek.
2. Sejarah meugang Aceh
Tradisi meugang memiliki nilai historis yang berkaitan dengan penyebaran Islam di Aceh sekitar abad ke-14 masehi.
Melansir dari laman Pemerintah Kota Banda Aceh, tradisi ini sudah dimulai sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Pihak Kerajaan Aceh Darussalam menggelar tradisi meugang yang dihadiri oleh sultan, menteri, pembesar kerajaan, serta ulama.
Pada hari itu, raja membagikan daging, pakaian, dan beras, kepada fakir miskin dan dhuafa.
Sumber lainnya menyatakan bahwa tradisi meugang berawal dari Sultan Iskandar Muda. Sebagai wujud rasa syukur menyambut Ramadhan, maka Sultan Iskandar Muda memotong lembu atau kerbau, kemudian dagingnya dibagikan kepada rakyat.
Setelah Kerajaan Aceh ditaklukan oleh Belanda pada 1873, tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja. Namun, karena tradisi ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, sehingga meugang tetap dilestarikan oleh masyarakat hingga saat ini.
Meskipun lebih dikenal dengan nama meugang, namun ternyata tradisi ini memiliki beberapa sebutan lainnya. Meskipun berbeda, namun masih merujuk pada tradisi yang sama.
Meugang juga dikenal dengan nama mak meugang, haghi mamagang, uroe meugang, atau uroe keuneukoh, seperti dikutip dari laman Pemerintah Kota Banda Aceh.
Masyarakat Aceh menggelar tradisi meugang selama tiga kali dalam setahun, seperti dilansir dari laman Pemerintah Kota Banda Aceh.
Meugang digelar untuk menyambut bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha. Masyarakat muslim Aceh meyakini, mereka harus menyambut hari-hari suci Islam tersebut dengan istimewa.
5. Makna meugang
Selain menghormati hari suci umat Islam, tradisi meugang memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Aceh.
Perayaan meugang menjadi momen penting untuk berkumpul seluruh keluarga. Biasanya, anak dan saudara yang merantau akan pulang dan berkumpul saat meugang. Nilai kebersamaan inilah yang ingin ditanamkan oleh para leluhur melalui tradisi meugang.
Bahkan, di daerah pedesaan yang masih kental dengan adat istiadat Aceh, seorang menantu laki-laki yang masih menetap di rumah mertua mempunyai kewajiban membawa pulang daging saat meugang.
Fakta unik meugang selanjutnya adalah jenis masakan daging. Melansir dari laman Pemerintah Kota Banda Aceh, setiap daerah memiliki masakan khas meugang.
Di Pidie, Bireun, Aceh Utara misalnya, daging meugang diolah menjadi kari dan sop daging. Beda dengan di Aceh Besar, daging diolah menjadi daging asam keueung, sie reuboh, rendang, dan sop daging.
Di Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan daging meugang biasanya dibuat gulai merah dengan ciri khas rasa pedas menyerupai masakan Padang, Sumatera Barat.
Selain daging, terdapat beberapa makanan yang sering disediakan khusus pada hari meugang seperti tape, leumang, serta timphan.
7. Warisan Budaya TakBenda Indonesia
Dengan nilai historis dan budaya tersebut, maka meugang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya TakBenda Indonesia.
https://travel.kompas.com/read/2023/06/03/203700127/7-fakta-tradisi-meugang-di-aceh-jelang-idul-adha-