Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bonokeling, Kearifan Lokal Jawa Kuno

Kompas.com - 03/08/2013, 14:38 WIB

Dalam berpuasa, komunitas adat ini, mendasarkan pada penanggalan Jawa versi Alif Rebo Wage (Aboge). Tidak seperti penentuan awal puasa pemerintah yang didasarkan pada rukyat atau melihat hilal (bulan sabit). Penghitungan ini, kata Sumitro, sudah dikenalkan pada abad ke-14 oleh Raden Rasid Sayid Kuning dari Kerajaan Pajang.

Keteguhan kaum adat Bonokeling mempertahankan kearifan-kearifan lokal bukan tanpa halangan. Gelombang modernisasi berupa hiburan dan tontonan sedikit menggerus beberapa nilai-nilai hidup mereka.

Sumitro mencontohkan, jika dulu warga Desa Pekuncen dan sekitarnya, tidak diperbolehkan nanggap wayang dan lengger dengan maksud menjauhkan diri dari maksiat. Namun, kini larangan seperti itu sudah sering dilanggar. Arus informasi dari televisi yang menyuguhkan ingar-bingar dunia serba instan juga menggoda nilai kehidupan generasi muda Bonokeling.

Oleh karena itu, menurut juru kunci Bonokeling, Kiai Kartasari, untuk menjadi pengikut Bonokeling, seseorang harus melewati berbagai ujian. Calon pengikut harus mematuhi beberapa syarat utama untuk menjadi anggota.

”Yang ingin menjadi pengikut harus melewati ujian selama tiga tahun digembleng dengan mengikuti kebiasaan adat Bonokeling. Tradisi ngelaku ini dilakukan untuk ’ngisi balung merti’ atau mendalami nilai-nilai Bonokeling hingga ke sumsum tulang. Kalau tidak kuat, ya keluar,” ujar Kartasari.

Sujito (24), salah satu generasi muda Bonokeling, mengakui, gemblengan terberat dalam mengikuti komunitas adat tersebut adalah wajib mengikuti setiap pelaksanan ritual selama periode waktu tertentu. ”Kalaupun itu hari kerja, harus mengajukan libur. Tapi, itu risiko. Berbeda dengan pergaulan di luar, di sini batin saya tenteram,” tutur pemuda yang mengikuti komunitas adat itu sejak SMA.

Ia mengikuti jejak ayahnya. Namun, hal itu tidak pernah dipaksakan kepada anggota keluarga lain. Adik perempuan dan ibunya tetap menganut keyakinan Islam berkiblat ke Baitullah.

KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO Para perempuan penganut adat Bonokeling, bergiliran mengunjukkan sembah bakti di depan pelataran kompleks pemakaman leluhur mereka di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (5/7/2013). Mereka menjalankan tradisi Unggah-unggahan, ziarah kubur ke makam leluhur yang digelar setiap menjelang bulan Ramadhan.
Dalam buku, Islam Kejawen (2008), peneliti Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto, Dr Ridwan, MAg, menyebutkan, komunitas adat Bonokeling dalam praktiknya masih memandang adanya simbol sebagai kosmologi dan mitologis yang terkait dengan dunia material dan dunia pikir sebagai fenomena menakjubkan. Hal tersebut menuntut kedewasaan orang luar dalam mengurai bahasa simbol yang sangat bergantung pada sudut pandang penilaiannya.

Namun, budayawan Ahmad Tohari menilai, terlepas dari jalur keyakinan yang dianut, tradisi Bonokeling merupakan kekayaan budaya Jawa kuno yang sangat langka. Ia malah mengkhawatirkan keberlangsungan tradisi tersebut. Pasalnya, hampir 80 persen pengikutnya berusia lanjut sehingga butuh transformasi nilai budaya bagi keturunan selanjutnya.

Bagi Tohari, akulturasi budaya lokal dan Islam yang terjadi pada kaum adat Bonokeling melahirkan kearifan lokal yang unik. Kekerabatan yang begitu kuat di antara kaum Bonokeling akan menjadi kunci kelanggengan kearifan khas Jawa kuno itu. (Gregorius Magnus Finesso)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com