Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia-Jepang Saling Bidik, Siapa Juara?

Kompas.com - 28/09/2013, 16:28 WIB

Klasina Rumbekwan dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Raja Ampat serta Monty Sorongan, pemilik Adventure Indonesia, menyatakan hal serupa. Keduanya juga mengaku berhasil membuat kerja sama dengan sejumlah agen perjalanan baru di ”Negeri Sakura” itu. ”Banyak juga pengunjung (perseorangan) yang menyatakan berminat untuk liburan ke Raja Ampat,” ujar Klasina.

Ia mengaku sengaja mengikuti pameran pariwisata internasional, seperti di Tokyo, ini mengingat selama ini keikutsertaan Kabupaten Raja Ampat dalam beberapa pameran pariwisata di sejumlah negara lain telah membuahkan hasil yang sangat baik.

”Peningkatan wisatawan mancanegara ke Raja Ampat sangat menggembirakan. Jika sebelumnya hanya sekitar 80 orang, terakhir (2012), setelah mengikuti berbagai pameran di luar negeri, mencapai sekitar 500 orang per tahun,” paparnya.

Paket perjalanan ke Raja Ampat, yang dikenal memiliki keindahan bawah laut yang luar biasa itu, lumayan mahal. ”Berkisar antara Rp 30 juta sampai Rp 40 juta untuk dua minggu. Harga itu termasuk penginapan, wisata dan antar-jemput Sorong-Raja Ampat,” ujar Klasina, seraya menambahkan, belakangan ini juga sudah mulai banyak wisatawan asal Jepang yang berlibur ke Raja Ampat.

Perlu pembenahan

Meski fakta-fakta di atas relatif menggembirakan, Indonesia tampaknya masih dituntut untuk terus berbenah diri. Untuk meraih minat wisatawan Jepang saja, misalnya, banyak hal yang harus diperhatikan, bahkan dibenahi.

”Wisatawan asal Jepang yang dinilai berpotensi itu umumnya perempuan dewasa, yang sebagian besar sudah masuk kelompok lanjut usia (lansia). Mereka dikenal sangat murah hati untuk mengeluarkan uang, baik untuk membeli kebutuhan hidup maupun buah tangan,” kata Danan, yang beberapa tahun terakhir ini menetap di Tokyo.

Mereka, lanjut Danan, umumnya memiliki uang yang cukup untuk liburan panjang di Indonesia. ”Biaya hidup mereka untuk satu minggu di Jepang bisa dinikmati untuk bersenang-senang di Indonesia sekitar satu bulan,” katanya.

Masalahnya, persyaratan untuk menerima wisatawan lansia belum bisa dipenuhi Indonesia. Persyaratan yang mesti dipenuhi itu, antara lain, calon wisatawan yang bersangkutan harus memiliki deposit di bank, memiliki asuransi, ada rumah sakit rujukan bagi mereka, ada babysitter, dan ada penerjemah (mengingat banyak wisatawan Jepang yang tidak bisa berbahasa Inggris).

Menurut catatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, hingga kini belum ada industri yang berkiprah di sektor itu. Artinya, Indonesia belum bisa menggarap wisatawan Jepang yang lansia secara optimal.

Satu hal yang juga tampaknya perlu dipertimbangkan adalah pemasaran pariwisata yang lebih fokus, jangan terlalu melebar. ”Thailand, misalnya, mereka fokus di bidang peningkatan lama tinggal wisatawan,” papar Danan.

”Indonesia juga mungkin bisa membuat paket perjalanan yang lebih jitu. Seperti, membuka penerbangan Manado (Sulawesi Utara)-Fukuoka. Perjalanan itu, di samping penerbangannya tidak terlalu lama, sekitar empat sampai lima jam, juga ada kedekatan budaya,” kata Danan.

Hiroto Hasegawa dari The Sanken Shimbun mengemukakan, promosi pariwisata Indonesia sebaiknya juga tidak hanya dilangsungkan di pameran-pameran internasional, seperti di Tokyo Big Sight itu saja. ”Harus ada kesinambungan,” katanya.

Apalagi, kata Hiroto, jika mengingat China dan Taiwan sekarang ini gencar menarik wisatawan asal Jepang. ”Kehidupan di China dan Jepang dikenal sangat murah. Karena itu, wisatawan Jepang belakangan ini juga banyak yang berlibu ke sana,” tambahnya.

Saat pameran berlangsung, beberapa remaja yang ditemui Kompas mengaku mengenal Indonesia. Namun, mereka umumnya belum memprioritaskan liburan ke Indonesia. ”Tahun ini kami akan berlibur ke Spanyol. Setelah itu ke Taiwan. Indonesia.., mungkin setelah itu,” kata Kumi dan Kana dengan tawa lepasnya.

SERAMBI/M ANSHAR Turis dari kapal pesiar MV Clipper Odyssey disambut tarian ranup lampuan saat tiba di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, Kamis (10/1/2013). Kapal yang mengangkut 150 penumpang dari berbagai negara dalam tour wisata Zegrahm Expedition tersebut melego jangkar selama enam jam di lepas pantai Banda Aceh untuk membawa para turis melakukan city tour ke beberapa situs sejarah dan tsunami Aceh.
Pekerjaan rumah di sektor pariwisata tampaknya banyak yang perlu diselesaikan segera. Tak hanya tentang hal-hal seperti disebutkan di atas. Di era otonomi daerah ini, koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat pun sering kali jauh dari baik. Bahkan, koordinasi antarlembaga terkait di pemerintah pusat pun banyak yang belum berjalan sebagaimana mestinya.

Ringkasnya, harus ada political will lebih dulu, di samping peningkatan komunikasi dan koordinasi. Hal ini, khususnya, komunikasi dan koordinasi antara daerah dan pemerintah pusat serta industri pariwisata.

Tanpa itu semua, Indonesia—di sektor pariwisata—hanya bisa bangga akan kekayaan negerinya, tanpa mampu menikmatinya secara optimal. (Fandri Yuniarti)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com