Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baidjuri Tarsa, Maestro Seni Pertunjukan Bangka

Kompas.com - 12/01/2015, 18:14 WIB
PAJANGAN  piagam dan piala tersusun di ruang tamu rumah Baidjuri Tarsa (66) di Sungai Liat, Bangka. Di antara deretan penghargaan itu terlihat piala yang diraih Sanggar Kite, yang dipimpin ayah lima anak itu, atas prestasi dalam sejumlah festival selama beberapa tahun berturut-turut.

Terpajang pula penghargaan untuk Baidjuri, salah satunya penghargaan sebagai Maestro Seni Pertunjukan Tradisional Bangka. Penghargaan itu diterima Baidjuri dari Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar pada Oktober 2014.

”Mereka (perwakilan kementerian) mulai mengontak saya awal 2014,” ujarnya.

Suami Kessy Emillya itu mengatakan, awalnya tidak mengerti untuk apa datanya dikumpulkan. Kesibukan mengasuh lima cucu dari lima anaknya dan di Sanggar Kite lebih menyita perhatiannya.

”Kami harus latihan rutin karena setiap tahun harus ikut beberapa festival,” tuturnya.

Selain itu, Sanggar Kite kerap diundang untuk memeriahkan berbagai acara di Bangka. Biasanya, mereka diminta menyajikan musik dan tari tradisional Bangka.

”Tidak mungkin datang ke Bangka lalu disambut kesenian daerah lain. Paling tidak ada tari sambut saat datang dan pertunjukan tradisional selama perjamuan,” ujarnya.

Di sanggar yang dikelolanya sejak 1998, Baidjuri fokus pada konsep pertunjukan dan tata musik. Selain itu, ia pun piawai memainkan dambus (gitar tradisional yang biasa dipergunakan dalam musik Melayu, Timur Tengah, dan Asia Selatan), gendang, akordion, dan seruling dengan irama khas Bangka.

Karena kepiawaian Baidjuri memainkan berbagai alat musik tradisional dan pengabdiannya pada seni itu, tim Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar butuh waktu lama untuk memutuskan Baidjuri maestro di bidang apa.

Lazimnya sebuah anugerah itu diberikan kepada seniman tradisi yang menguasai satu jenis seni. ”Teman-teman yang dapat anugerah bersama saya tahun ini memenuhi kriteria itu. Satu seniman satu jenis seni,” ujarnya.

Penilaian kepada Baidjuri akhirnya mengerucut pada kepiawaiannya bermain suling. Setelah berkeliling Bangka, tim penilai tidak menemukan orang lain yang semahir Baidjuri soal meniup seruling dengan irama khas Bangka.

Meskipun demikian, kepiawaian Baidjuri di seni pertunjukan tradisional tetap diakui. Tim penilai mencatat pria itu juga menguasai teater rakyat seperti dulmuluk, paham soal tari-tarian tradisional, dan tentu saja lincah bermusik tradisional.

Sejak remaja

Semua keterampilan seni itu didapatnya dalam tahun-tahun panjang pembelajaran. Sejak remaja, ia sudah aktif di berbagai kegiatan kesenian. Bahkan, ia nyaris masuk akademi seni di Yogyakarta.

”Sudah ditawari oleh pimpinan akademi. Saya tidak berani karena orangtua tidak merestui. Saya takut tidak dikirim wesel,” ujarnya.

Orangtuanya mengharapkan Baidjuri muda menjadi guru agama. Apalagi, ia sudah menyelesaikan pendidikan menengah di pendidikan guru agama. Jalur kariernya sudah hampir sesuai harapan orangtuanya, kala Baidjuri mendaftar ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. ”Tetapi, saya tetap sibuk berkesenian. Pentas teater, main musik,” ujarnya.

Impian orangtua agar Baidjuri menjadi guru agama kandas saat ia memilih menjadi pekerja di PN Timah di Bangka. Sejak berpuluh tahun lalu, menjadi karyawan PN Timah sudah menjadi impian banyak orang di Bangka dan Belitung.

Namun, status sebagai pekerja PN Timah bertahan sampai 1994. Pasalnya, karier Baidjuri di PN Timah berakhir karena ada pengurangan pegawai secara besar-besaran.

”Anak masih kecil-kecil waktu kami terpaksa pensiun. Kami melakukan apa saja untuk menyambung hidup,” ujar Baidjuri yang selama bekerja di PN Timah, ia dan istrinya aktif di kelompok paduan suara dan kegiatan seni lain.

”Hanya kami berdua orang Bangka di paduan suara. Anggota lain sebagian besar orang Batak,” tuturnya.

Baidjuri, yang punya waktu luang, aktif berkesenian. Ia aktif di beberapa sanggar sebelum akhirnya mendirikan sanggar sendiri, Sanggar Kite.

Di Sanggar Kite, ide-idenya diterjemahkan dalam berbagai pertunjukan. Sejak 2000, sanggar itu tidak pernah putus mendapat penghargaan berbagai festival seni di Bangka, Sumatera, dan Jawa.

Kerap kali, dalam setahun beberapa penghargaan diraih sanggar itu. ”Dalam perjalanan, sebagian teman-teman keluar dan mendirikan sanggar baru. Makanya sekarang Sanggar Kite lebih sering disebut Institut Seni Kite,” ujarnya.

Sebagian sanggar yang dikelola mantan penggiat Sanggar Kite tersebut juga produktif berkarya. Seperti Sanggar Lawang Budaya yang dipimpin putra ketiga Baidjuri, Wandasona Alhamd.

”Kami beda segmen, walau sama-sama berakar pada tradisi Bangka,” ujar Wandasona.

Wanda lebih berkonsentrasi pada anak-anak dan pelajar. Sanggar Lawang Budaya menjadikan seni tradisi sebagai dasar kreasi. Untuk pertunjukan lebih banyak hasil karya baru.

Sementara Baidjuri terutama bergiat dengan remaja dan orang dewasa. Meski kerap membuat kreasi, Sanggar Kite bertahan di jalur seni tradisional Bangka. Namun, tetap saja itu tidak menghalangi Sanggar Kite dan Baidjuri rutin mendapat penghargaan.

Penghargaan tanpa henti itu menunjukkan produktivitas Baidjuri dalam seni. Produktivitas itu menjadi hal yang juga dipertimbangkan oleh tim penilai dari Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar sebelum memutuskan Baidjuri layak dianugerahi gelar Maestro Seni Tradisional. (Kris Razianto Mada)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com