Sekilas, para warga kelima gunung memang sekadar ”tukang rusak” tradisi, seperti kebersahajaan Sitras membilang polah para warga dan Komunitas Lima Gunung. Dengan mengobrak-abrik tradisi, seni tetap membumi. Di kaki kelima gunung, seni hadir sebagai ekspresi kebahagiaan mereka yang bukan seniman—mereka yang sejatinya petani, juragan sayur, guru, pamong desa, atau pemuka
agama. (Aryo Wisanggeni)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Oktober 2015, di halaman 24 dengan judul "Adu Gengsi dengan "Ngedan" dan "Nyeni".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.