Jangan lupakan pula pergi ke Tanjung Wora, yang jika air sudah pasang menjadi terpisah dari pulau utama. Setelah itu mendakilah ke lokasi meriam keramat, yang menjadi saksi penjuangan nenek moyang orang Miangas melawan orang Sulu.
Walau hanya sebagai pulau kecil, menjelajahi semua keindahan bahari di Miangas tidak cukup hanya sehari. Berusahalah untuk tinggal beberapa hari sambil menunggu kapal berikutnya yang datang. Carilah rumah warga yang sudi menampung kehadiran anda.
Selingi kegiatan di Miangas dengan bergabung bersama nelayan menangkap ikan dengan cara-cara tradisional. Yakin, petualangan anda di tapal batas akan lebih bermakna.
Kearifan Lokal yang Terus Terjaga
Tak hanya keindahan alam, Miangas menggaransi dengan kearifan lokal yang terus terjaga. Para tetua adat, yang disebut Ratumbanua, diangkat secara khusus untuk menjaga laut dan darat. Titah mereka adalah kebijaksanaan bagi penduduk Miangas.
Maka hormatilah adat yang dijaga turun temurun itu jika anda sedang berada di Miangas. Termasuk hutan kelapa yang dijaga secara adat, dan terlarang untuk dimasuki sembarang. Hutan kelapa itu hanya bisa dimasuki kala mendapat petunjuk dari Ratumbanua.
Panen buah kelapa pun dilakukan secara bersama-sama. Tujuannya agar kelapa-kelapa itu menjadi lestari karena menjadi tumpuan hidup bagi penduduk Miangas.
Ikan memang melimpah, tetapi jaraknya yang sangat jauh dari pusat industri perikanan di Bitung, membuat nelayan Miangas tidak bisa sepenuhnya menggantungkan mata pencaharian dari laut. Ikan ditangkap sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kearifan lokal yang masih terus dihormati itu juga tercermin di Pantai Wolo. Sebuah pantai yang dijadikan daerah terlarang dengan sistem adat. Dengan pentunjuk Ratumbanua, pada waktu tertentu kawasan Pantai Wolo terlarang untuk didatangi.
Larangan itu terkait dengan ritual penangkapan ikan yang disebut Manam'mi, yang hanya digelar setahun sekali. Hari pelaksanaannya berpedoman pada hitung-hitungan surut terendah dalam setahun yang biasanya jatuh pada bulan Mei.
Sebelum puncak Manam'mi digelar, atas petunjuk Ratumbanua, warga membuat pagar dari batu di salah satu titik tertentu di Pantai Wolo. Pagar batu itu nantinya digunakan untuk menjebak ikan. Tak ada yang bisa ke sana sampai waktunya tiba. Jika ada yang ketahuan, hukum adat menanti.
Berbulan-bulan sesudahnya, atas perhitungan Ratumbanua, Manami'mi pun dihelat. Seluruh penduduk Pulau Miangas akan mendatangi Pantai Wolo. Berbekal dengan janur kelapa yang dirangkai ke tali hutan, para penduduk pulau ini akan turun ke laut.
Janur sepanjang ratusan meter itu ditebar sejak air masih pasang. Mereka membentuk setengah lingkaran menghalau ikan yang terjebak ke satu titik di Pantai Wolo. Ikan digiring seiring dengan air yang semakin surut, hingga masuk ke pagar batu. Saat air mencapai surut terendahnya, Ratumbanua yang dibantu oleh para tetua adat lainnya, akan melakukan prosesi Manami'mi.
Para pelancong yang datang tepat saat Manami'mi juga diajak berpesta ikan bersama penduduk setempat. Atraksi budaya bahari itu oleh Pemerintah Daerah Talaud sesekali dijadikan sebagai festival.
Seperti yang baru saja lewat, pada tanggal 21 Mei lalu, Pemerintah Talaud mengadakan Festival Manam'mi di Pulau Miangas. Ratusan tamu dari luar Pulau Miangas sengaja datang untuk menghadiri festival ini. Dan tentu juga menikmati eksotisme di tapal batas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.