Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Museum di Tengah Kepungan Sampah Pasar Tangerang

Kompas.com - 26/06/2016, 06:22 WIB

DI sela tumpukan sampah sayur, meja pedagang, dan jalanan becek di Pasar Lama, Kota Tangerang, Banten, berdiri sebuah ikon baru, Museum Benteng Heritage, yang berdiri tahun 2011. Museum itu menempati bangunan bersejarah yang diperkirakan berasal dari akhir 1700-an, awal 1800 Masehi.

Museum itu menampilkan sejarah panjang peranakan Tionghoa dan percampuran budaya lokal Betawi-Sunda yang diwariskan sejak muhibah Cheng Ho ke pesisir Tangerang akhir 1400-an Masehi.

Hiruk-pikuk pedagang sayur, daging, dan pecah belah di pasar basah itu menyisakan sampah menjelang siang hari. Adapun Museum Benteng Heritage buka pada Selasa-Minggu di tengah kesibukan pasar.

Rumah yang menjadi museum tersebut dihiasi ornamen pecahan keramik dan berbagai bahan yang membentuk relief tiga dimensi menggambarkan berbagai kisah Tionghoa klasik. Pendiri Museum Benteng Heritage, Udaya Halim, menunjukkan relief cerita Kwan Kong di bagian lantai dua rumah.

”Kemungkinan besar dulunya ini rumah kongsi atau perkumpulan. Kwan Kong itu simbol persatuan dan persaudaraan perantau,” kata Udaya yang menghabiskan dana sangat besar untuk membeli rumah tua di Pasar Lama yang kemudian direvitalisasi menjadi museum.

Secara keseluruhan terdapat tiga rumah kuno gandeng yang menjadi Museum Benteng Heritage. Museum itu juga menjadi saksi berbagai perhelatan internasional, seperti seminar dan Peranakan Street Festival 2014 yang dihadiri perwakilan komunitas peranakan Tionghoa dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan Australia.

Ketika itu, akhir tahun 2014, Gubernur Banten Rano Karno mengatakan, semangat pelestarian dan membangun obyek wisata dari situs sejarah di Banten itu harus dijaga dan terus dikembangkan.

”Saya juga menulis novel The Last Barongsai karena prihatin melihat situasi di Tangerang serta berharap adanya upaya melestarikan budaya peranakan Tionghoa yang menjadi bagian budaya Banten. Festival Peh Cun atau perahu naga di Cisadane juga menjadi satu bagian dari komunitas di sekitar Museum Benteng Heritage ini harus dijaga,” kata Rano Karno beberapa waktu silam.

Museum dan komunitas

Museum Benteng Heritage memamerkan beragam artefak budaya peranakan Tionghoa yang melebur dengan kebudayaan lokal Betawi dan Sunda. Batik peranakan, perlengkapan rumah sehari-hari yang berasal dari Tiongkok, seni budaya yang berbaur dalam orkes gambang kromong, hingga rekaman asli lagu ”Indonesia Raya” yang direkam pertama kali oleh keluarga peranakan Tionghoa dari WR Supratman juga dipamerkan di museum tersebut.

Kristina, warga Tanjung Duren, Jakarta Barat, yang mengunjungi Museum Benteng Heritage seusai mendatangi Festival Peh Cun 2016 di Kali Cisadane, awal Juni, menyatakan kagum dengan koleksi museum yang dibangun atas inisiatif perorangan itu.

”Saya tahu museum ini dari berbagai berita, termasuk Kompas dan situs internet. Sekalian mencoba kereta api Jakarta-Tangerang yang sekarang sudah nyaman. Sayang sekali jalan di dalam pasar ini banyak sampah. Museumnya, sih, terawat sekali,” tutur Kristina yang datang bersama rombongan dari Jakarta.

Selain pengunjung perorangan, kalangan perguruan tinggi, seperti mahasiswa dan dosen Universitas Indonesia, Universitas Al Azhar, serta berbagai perguruan tinggi lain, secara rutin mendatangi Museum Benteng Heritage yang menjadi magnet di tengah komunitas peranakan Tionghoa yang lebih akrab dikenal sebagai Cina Benteng.

Memang kawasan tersebut, menurut sejarawan Arsip Nasional Republik Indonesia, Mona Lohanda, merupakan kawasan yang berkembang sejak 1600-an seiring perkembangan kota Batavia. ”Tangerang adalah bagian Ommelanden atau daerah di luar kota atau tembok Batavia yang juga menjadi perbatasan wilayah Kesultanan Banten dan VOC yang dipisahkan oleh Sungai Cisadane,” kata Mona.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI Sejumlah patung, guci dan benda berbahan keramik koleksi Museum Benteng Heritage di Pasar Lama, Kota Tangerang, Banten.
Wilayah VOC di tepi timur Cisadane yang kini menjadi Pasar Lama adalah bagian dari Benteng yang dilukiskan Johannes Rach dalam litografi buatan awal 1700-an. Industri kecap benteng, beragam penganan tradisional Tionghoa dan Muslim, serta kelompok musik gambang kromong hidup sejak lama di satu kawasan tersebut.

Masjid Kalipasir yang memiliki menara unik segi delapan seperti pagoda, tidak ubahnya menara Masjid Banten Lama yang dibangun Encek Bancut seorang Tionghoa, Kelenteng Boen Tek Bio, bangunan tua, hingga Museum Benteng Heritage adalah aset industri kreatif yang dapat menjadi magnet pariwisata Kota Tangerang. Museum Benteng Heritage pun sudah mendapat berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri, seperti dari UNESCO.

Oei Cin Eng, juru bicara Kelenteng Boen Tek Bio, yang berada di belakang Museum Benteng Heritage, mengatakan, kawasan itu memang merupakan situs budaya dan sejarah.

”Di sini bangunan tua dan masyarakatnya turun-temurun masih ada,” ujar Cin Eng yang telah lama melayani komunitas Khonghucu di sekitar Kabupaten Tangerang.

Aset berharga

Bersatunya masyarakat, tradisi, dan bangunan bersejarah adalah aset berharga dalam membangun pariwisata.

Seni tari tradisional saman hingga kelompok liong dan barongsai diboyong Udaya Halim ke mancanegara untuk memperkenalkan Indonesia dan Kota Tangerang.

Berbagai festival, seperti Imlek, Cap Go Meh, Sembahyang Rebutan, dan Festival Peh Cun, menambah semarak kehidupan di Pasar Lama Tangerang yang seharusnya bisa disejajarkan dengan kota Malaka di Malaysia yang menjadi situs sejarah versi UNESCO.

Meisy Junardy, yang mengadakan penelitian di Eropa terkait ekonomi kreatif bersama UNESCO, merasa kagum melihat upaya yang dibangun Museum Benteng Heritage dan masyarakat sekitar museum.

”Eropa sekarang sudah memetakan potensi ekonomi kreatif. Situs sejarah dan agenda kegiatan di tiap negara bisa diakses online. Pemerintah negara-negara Eropa Barat juga sangat mendukung kegiatan tersebut. Devisa ekonomi bisa menjadi penggerak ekonomi dan hasilnya langsung dinikmati rakyat,” ungkap Meisy yang lama bermukim di Roma, Italia.

Inisiatif perorangan dan komunitas yang saling mendukung seperti di Pasar Lama Tangerang akan semakin bersinar ketika pemerintah setempat memberikan sentuhan sederhana, seperti mengatur agar pasar tradisional tidak kumuh dan sampah tidak berserakan lagi.... (IWAN SANTOSA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com