"Sepeda motor dan sepeda stop di sini,” kata Sukati, Ketua Kelompok Sadar Wisata Dusun Sembagik, Desa Sukadana, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Minggu (12/3/2017) siang, saat grup wisatawan memasuki batas area hunian kompleks rumah tradisional suku Sasak, Lombok, itu.
”Mau diparkir berhari-hari, sepeda motor dijamin aman,” ujarnya.
”Pemalik, ye unin dengan toak (tabu, itu katanya orang tua),” kata Sukati saat ditanya alasan roda dua diharamkan masuk kompleks permukiman.
Itu ajaran leluhur. Generasi berikutnya hanya mematuhi aturan. Para tamu pun berjalan kaki sekitar 20 meter dari batas kampung yang ditandai potongan kayu ditanam melintang di jalan tanah.
Bersiaplah mendengar banyak kata ”tidak boleh” apabila ke kampung ini.
”Di sini listrik tidak boleh masuk, hanya pakai dila jojor (penerangan tradisional berbahan bakar buah jarak yang ditumbuk dan bersumbu kapas) di malam hari,” katanya.
(BACA: Di Desa Adat Bayan Lombok, Tebang Pohon Didenda Kerbau)
Ia menambahkan, ”Televisi tidak boleh, yang boleh radio. Tidak boleh mengambil sesuatu di hutan, kayu tumbang pun harus dibiarkan membusuk di hutan.”
Begitulah tatanan sosial warga kampung yang setia menjalankan tradisi Wetu Telu, sinkretisme Islam, Hindu, dan ajaran nenek moyang yang kini pusatnya di Kecamatan Bayan, Lombok Utara.
Mereka terkesan ”menjauhi” dunia modern sekaligus taat menjalankan tradisi leluhur, seperti menjaga kelestarian hutan adat.
Tradisi
Wetu Telu, yang berakar dari kata wet yang artinya prinsip, kodrat, teu yang artinya manusia, dan telu yaitu tiga, adalah simbolisasi kodrati manusia: lahir, hidup, dan mati.
Tiga hal ini dipandang sebagai kunci kesuburan dan kemakmuran jagat raya.
(BACA: Pantai Tebing, Jejak Letusan Gunung Samalas di Lombok Utara)