Stan, seorang pemandu senior tempat ini, menemani KompasTravel dan rombongan dari Dwidaya Tour berkeliling.
Dia mengatakan, di masa itu hukuman bagi para pelaku kriminal amat berat meski hanya melakukan kejahatan kecil atau mencuri ternak.
"Bahkan anak-anak di usia tujuh tahun sudah diperlakukan seperti orang dewasa saat melanggar hukum, dan anak-anak usia delapan tahun sudah bisa dijatuhi hukuman gantung," ujar Stan.
Pada 1848 sebuah bangunan baru yang disebut "separate prison" dibangun dalam upaya mengubah sistem hukuman untuk para pelaku kriminal.
"Pemerintah saat itu sadar hukuman keras seperti dicambuk atau disiksa ternyata tak membuat seorang pelaku kriminal bertobat," kata Stan.
"Bahkan jika mereka bisa melalui hukuman fisik yang berat itu, maka seorang narapidana malah dihormati rekan-rekannya," lanjut Stan.
Sehingga, kata dia, pemerintah memutuskan untuk meninggalkan hukuman fisik dan beralih dengan menghukum mental para pelaku kejahatan.
Hukuman mental
"Sesampainya di penjara, mereka mendapat baju seragam dengan nomor yang menggantikan nama mereka. Jadi mereka hanya boleh dipanggil dan menyebut diri dengan menggunakan nomor itu," ujar Stan.
Selanjutnya, para narapidana ini harus mengenakan penutup wajah, demikian pula dengan para sipir yang mengenakan penutup wajah sehingga mereka tak akan saling mengenali wajah.
"Selanjutnya para narapidana dimasukkan ke dalam sel selama 23 jam sehari dengan hanya satu jam diizinkan keluar sel," lanjut Stan.
Selain itu, para narapidana itu juga tak boleh mengeluarkan suara atau berkomunikasi dengan sesamanya atau para sipir.
"Semua sunyi. Bahkan para sipir menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan para narapidana tersebut," papar Stan.
Selama satu jam setiap hari, para narapidana boleh meninggalkan selnya untuk berada di "taman rekreasi" yang berupa ruang panjang yang dibatasi tembok dan terali besi tetapi dengan atap terbuka.
"Setibanya di tempat rekreasi, mereka diharuskan menghadap ke tembok dan boleh melepas penutup wajahnya. Namun, mereka tetap tidak boleh berkomunikasi," kata Stan.
Jika waktu istirahat habis, para narapidana itu harus kembali menghadap ke tembok, mengenakan lagi penutup wajah, sebelum digiring kembali ke dalam sel.
Boleh bersuara di gereja