Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Lebaran Masa Lampau, Mari Bernostalgia ke Tahun 1920-an...

Kompas.com - 08/06/2018, 11:46 WIB
Rosiana Haryanti,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

Tradisi menerbangkan balon kertas

Tradisi menerbangkan balon kertas ke udara saat perayaan Lebaran dulu berlangsung lama di Purbalingga.

Perbedaannya, pada bahan yang digunakan untuk membuat balon.

Harian Kompas, 13 Februari 1971, memberitakan, balon-balon tersebut dibuat dari kertas minyak.

Tingginya mencapai lima meter dengan diameter satu hingga dua meter. Dengan ukuran yang relatif besar, balon akan dipikul secara gotong royong oleh masyarakat ke tempat pelepasan.

Uniknya, balon ini tidak dipompa seperti balon udara pada umumnya. Masyarakat akan memasukkan asap melalui cerobong. Jika sudah penuh dengan asap, balon akan langsung naik ke atas.

Untuk menciptakan suasana yang lebih meriah, balon-balon tersebut akan diberi ekor yang dilengkapi dengan petasan dan parasut.

Nantinya, petasan dan parasut ini akan berjatuhan setelah balon mengudara. Tradisi unik ini biasanya dilakukan di kampung-kampung.

Kini, tradisi menerbangkan balon di Purbalingga dilarang oleh pemerintah karena dianggap membahayakan penerbangan.

Menyalakan lampu batok di Mandailing

Menjelang Hari Raya, masyarakat Mandailing di Tapanuli Selatan memiliki tradisi khusus.

Seperti diberitakan Harian Kompas, 6 November 1972, masyarakat Mandailing akan memasang lampu di halaman rumah pada malam ke-27 Ramadhan.

Lampu yang dipasang bukan lampu biasa seperti lazimnya lampu pada masa itu.

Lampu khusus itu dibuat dari batok kepala yang dilubangi bagian tengahnya dan hanya ada menjelang Lebaran.

Batok ini kemudian disusun dan ditempel pada kayu basah dengan tinggi satu setengah hingga dua meter, yang ditancapkan di tanah.

Batok kelapa kemudian diisi dengan arang dan akan menjadi penerangan bagi rumah-rumah di Mandailing.

Menjelang matahari terbenam, barulah lampu batok ini dinyalakan.

Satu rumah biasanya menyalakan dua buah lampu. Tak jarang, lampu ini dilengkapi dengan lampu variasi yang dibuat dari seruas bambu yang kemudian diberi lubang sebagai sumbunya.

Anak-anak akan berkeliling memeriahkan malam. Di setiap lampu yang nyala apinya tidak berkobar, anak-anak akan berhenti dan mengorek arang agar nyala api semakin besar.

Perayaan Tujuh Syawal di Mamala

Masyarakat Mamala, Ambon, memiliki tradisi unik yang cukup ekstrim.

Perayaan Tujuh Syawal merupakan ajang pertempuran bersenjatakan lidi enau.

Seperti diberitakan Harian Kompas, 4 Januari 1972, perayaan Tujuh Syawal ini telah berjalan selama berabad-abad, dan masih berlangsung hingga saat ini.

Perayaan ini biasanya dilakukan oleh para pemuda.

Mereka berdiri berhadap-hadapan dengan memegang sebatang lidi enau di masing-masing tangannya.

Lidi di tangan kiri digunakan sebagai perisai sekaligus cadangan senjata. Sementara, tangan kanan memegang lidi lain yang digunakan untuk menyerang lawan.

Perang dilakukan silih berganti dan dilaksanakan mulai waktu Asar dan berakhir saat Magrib.

Tradisi yang juga disebut dengan Pukul Sapu ini dilakukan untuk menguji khasiat minyak Mamala.

Perayaan ini merupakan peringatan tentang apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Mamala, tiga orang tokoh Islam yang bernama Latului, Imam Tuni, dan Patembesi.

Konon, dalam perjalanan, ketiga orang itu memutuskan untuk mendirikan masjid.

Ketika pembangunan sedang berlangsung, seorang dari mereka terjatuh sehingga pembangunan masjid pun terhambat.

Malam harinya, Imam Tuni bermimpi tentang minyak yang berkhasiat menyembuhkan luka. Paginya, ia mencoba khasiat minyak tersebut.

Untuk menguji khasiat minyak Mamala, Imam Tuni kemudian mulai memukul tubuh dengan lidi hingga babak belur.

Ketika minyak tersebut dioles ke tubuh yang terluka, ajaibnya luka tersebut langsung sembuh seketika.

Sejak saat itulah kegiatan ini menjadi tradisi masyarakat. Hanya saja, belum diperoleh keterangan pasti mengapa acara tersebut dilaksanakan pada Tujuh Syawal.

Kompas TV Seperti apa tradisi Lebaran ala keluarga Yenny Wahid?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com