Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bunga Bangkai, Si Cantik yang Terus Dibantai

Kompas.com - 19/06/2018, 08:25 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

"Populasi bunga bangkai liar semakin berkurang karena habitat alaminya banyak mengalami alihfungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman," sebut Hotma.

Dia berharap, semua instansi berwenang dan penggiat lingkungan mempertahankan dan melindungi flora unik ini di habitat alaminya.

Upaya untuk mengenalkan berbagai macam spesies bunga bangkai pada masyarakat Indonesia, khususnya di Sumatera juga sangat penting. Pengenalan ini diharapkan mampu mendukung pembudidayaan tanaman ini sehingga akan tetap bertahan dari kepunahan.

"Kita sosialisasi ke masyarakat dan kades setempat bahwa bunga ini dilindungi, jangan dirusak, biarkan sampai layu dengan sendirinya. Untuk bunga yang banyak tumpuh di APL atau kebun masyarakat, kita hanya sebatas penyadartahuan saja," pungkasnya.

Baca juga: Ketika Bunga Bangkai Raksasa Indonesia Jadi Primadona di Royal Botanic Gardens Melbourne

Yuzammi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) khusus bunga bangkai di Pusat Konservasi Kebun Raya Bogor kepada KompasTravel beberapa waktu lalu mengatakan, Amorphophallus banyak jenisnya.

Di Indonesia, jenis yang paling terkenal adalah Amorphophallus Titanum, Amorphophallus Gigas, Amorphophallus Moeleri, dan Amorphophallus Variabilis.

Bunga Bangkai adalah bunga raksasa yang memiliki tonggol (spadix), atau bagian menjulang tinggi ke atas. Bagian pelindungnya yang mekar disebut braktea.

Meski sama-sama mengeluarkan bau bangkai, Bunga Raflesia adalah parasit yang hanya bisa hidup bergantung dari pohon inangnya. Sementara Bunga Bangkai memiliki umbi, batang, hingga akar sehingga bisa mencari makan sendiri.

"Amorphophallus tumbuh lewat biji bunga dan umbi. Bau busuk yang dikeluarkan berfungsi menarik kumbang dan lalat penyerbuk bunga. Masa mekarnya sekitar seminggu, setelah itu layu dan kembali mengulangi siklus hidupnya. Sebagian besar bunga adalah spesies endemik yang dapat dibudidayakan," kata Yuzammi.

Bunga ini umumnya tumbuh di dataran rendah beriklim tropis dan subtropis mulai dari Afrika Barat sampai Kepulauan Pasifik, termasuk Indonesia. Populasinya semakin hilang karen habitatnya terus dibantai menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman.

"Penyebab lain, masyarakat merasa terancam dengan bau busuk bunga ini, lalu memotongnya," ucap dia.

Save Bunga Bangkai

Koordinator Pantai Barat dari KPHSU, Damai Mendrofa, melakukan aksi kecil untuk menyelamatkan Bunga Bangkai dengan memasang spanduk di tanah milik Aritonang.

Harapannya, warga yang melintas tergugah kesadarannya untuk melestarikan bunga unik dan langka itu. Pemasangan spanduk juga bagian dari sosialisasi agar tidak ada lagi pengrusakan.

"Sekarang, semua yang lewat tempat itu jadi tahu bahwa bukit tersebut habitat Bunga Bangkai. Kami lakukan ini karena kami melihat sosialisasi yang dilakukan pemerintah dalam hal ini BKSDA tidak sampai. Bagi kami, sosialisasi tanpa pengawasan dan sanksi adalah omong kosong," kata Damai.

Harusnya setelah mendapat informasi keberadaan bunga bangkai, BBKSDA segera mensterilkan lokasi supaya tak dimasuki dan dijamah tangan jahil. Misalnya dengan memasang tanda pemberitahuan meski bunga tidak berada di wilayah kerja mereka.

Inisiatif ini malah dilakukan Ikatan Wartawan Online (IWO) Sibolga-Tapteng dan KPHSU.

"Kerja BKSDA apa? Mereka juga tidak ada upaya yang membuat masyarakat tertarik untuk menjaga dan merawat bunga karena dinilai tidak punya nilai ekonomis. BKSDA harusnya menjadi kawasan ini ekowisata. Ada keuntungan untuk masyarakat sekitar, lingkungan, hutan dan ekosistemnya," beber pria berambut gondrong itu.

"Janganlah jargon lestari dan konservasi hanya mimpi. Implementasikan, buktikan dengan kerja nyata. Keberadaan bunga ini bisa menjadi indikator bahwa hutan masih ada karena tumbuh tak jauh-jauh dari kawasan. Jadi melindunginya berarti menyelamatkan hutan. Selamatkanlah hutan meski terlambat," tegas Damai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com