Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

100 Pramuwisata Ikut Pembekalan Candi Borobudur, Hapus Informasi yang Kedaluwarsa

Kompas.com - 18/10/2022, 07:04 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

Beredar informasi soal Candi Borobudur yang kedaluwarsa

Narasumber yang dihadirkan saat pembekalan tersebut adalah Hudaya Kandahjaya, peneliti di Amerika Serikat yang berfokus terhadap Borobudur.

Karyanya yang bertajuk Borobudur - Biara Himpunan Kebajikan Sugata telah diterbitkan pada tahun 2021 oleh Penerbit Karaniya.

Baca juga:

Hudaya menyampaikan, penelitian tentang Candi Borobudur telah dilakukan sejak 30 tahun yang lalu. Gagasan itu muncul berawal dari keprihatinan atas kesenjangan, bahkan kedaluwarsanya, informasi-informasi tentang Candi Borobudur di masyarakat. 

"Ada berbagai informasi yang masih disampaikan di berbagai media yang kedaluwarsa atau bahkan sudah dibantah oleh banyak cendekiawan tapi tetap masih banyak beredar. Tentu itu, kalau dibiarkan, saya khawatir akan memberikan salah pengertian tentang apa itu Candi Borobudur," terang Hudaya.

Informasi-informasi soal Candi Borobudur yang keliru

Hingga saat ini Candi Borobudur masih menyimpan berbagai misteri yang belum sepenuhnya terungkap.
Dok. Indonesia Travel Hingga saat ini Candi Borobudur masih menyimpan berbagai misteri yang belum sepenuhnya terungkap.

Menurutnya, beberapa informasi yang dimaksud salah satunya tentang konsep Tridathu (Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu).

Konsep tersebut diperkenalkan oleh sarjana asal Belanda bernama W.F. Suterheim yang membaca kitab Sang Hyang Kamahayanikan. Namu, W.F Suterheim tidak membaca kitab tersebut secara menyeluruh sehingga menimbulkan disinformasi.

"Seperti gunung es itu loh, yang terlihat di atas itu padahal di bawahnya itu begitu besar. Apa yang disampaikan kitab Sang Hyang Kamahayanikan ini sesungguhnya berbeda, karena mereka itu merekam ajaran-ajaran agama Buddha yang purba," jelas Hudaya.

Tidak hanya itu, istilah Tridhatu berkaitan dengan konsep Aksaranyasa yang ada dalam tradisi agama Budhha isoterik, yang tidak banyak dikenal orang pada zaman sekarang.

Baca juga: 7 Wisata Sekitar Candi Borobudur, Bisa Jadi Alternatif Tempat Liburan

Kemudian tentang Bhumi Sambara Budhara di mana Budhara dicuplik oleh Profesor G. De Casparis ketika menyusun disertasi sekitar tahun 1950.

"Itu sudah banyak dibantah, dan beliau sendiri bilang itu dia keliru. Jadi, dalam korespondesi saya dengan beliau juga pada tahun 1980-an," ujarnya.

"Dia sudah mengaku dan didalam sebuah konferensi khusus agama Buddha, bahwa dia terburu-buru karena hanya sekadar ingin mencocokkan nama Borobudur. Kemudian dicarilah kata-kata yang belakangnya bisa sama dengan Borobudur," lanjut Hudaya.

"Padahal itu sama sekali keliru. Tapi itu terus masih beredar, jadi itu salah satu alasan mengapa saya merasa prihatin," ungkapnya.

Baca juga: Rute ke Candi Borobudur, Bisa Naik Transportasi Umum dan Kendaraan Pribadi

Sementara itu, Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kabupaten Magelang, Sony, mengapresiasi kegiatan tersebut karena dapat menambah referensi dan ilmu pengetahuan tentang Candi Borobudur, serta meningkatkan profesionalitas.

"Pengunjung yang dapat informasi dari pramuwisata dengan baik maka wisatawan juga akan menghormati bangunan (Candi Borobudur), sehingga dapat terjaga kekeramatannya," ucap Sony.

Menurutnya, pramuwisata bisa dikatakan sebagai pengganti generasi milenial yang menyelamatkan Candi Borobudur.

HPI Kabupaten Magelang, khususnya yang bertugas di Candi Borobudur adalah pramuwisata yang memperoleh pendidikan dari narasumber-narasumber berkualifikasi dan profesional. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com