Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Mubeng Beteng, Tradisi Keraton Yogyakarta Menyambut Tahun Baru Islam 

Kompas.com - 10/07/2023, 10:53 WIB
Ulfa Arieza

Penulis

KOMPAS.com - Keraton Yogyakarta memiliki tradisi unik menyambut tahun baru Islam atau tahun baru Hijriah, yakni Mubeng Beteng. Tradisi turun temurun ini, masih dilestarikan hingga sekarang.

Tradisi Mubeng Beteng merupakan salah satu dari sejumlah tradisi menyambut tahun baru Islam di Indonesia. Perayaan tahun baru Islam tersebut, bersamaan dengan tahun baru Jawa, atau lebih kerap disebut malam satu Suro.

Baca juga:

Lantas, apa itu tradisi Mubeng Beteng? Simak ulasannya seperti dihimpun Kompas.com berikut ini.

Apa itu tradisi Mubeng Beteng? 

Tradisi Mubeng Beteng di Keraton YogyakartaShutterstock/Zahirul Alwan Tradisi Mubeng Beteng di Keraton Yogyakarta

Mubeng Beteng merupakan tradisi Keraton Yogyakarta dalam menyambut tahun baru Islam dan tahun baru Jawa, seperti dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.

Tradisi turun temurun ini dilaksanakan dengan tirakat lampah ratri, atau munajat kepada Tuhan YME dengan berjalan mengikuti lintasan tertentu. Sebetulnya, ada sejumlah lintasan dalam Mubeng Beteng, namun yang populer adalah mengelilingi Keraton Yogyakarta.

Jadi, para abdi dalem keraton dan warga peserta ritual berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta. 

Para abdi dalem berbaris di bagian depan mengenakan pakaian Jawa tanpa keris dan alas kaki, seperti dikutip dari Kompas.com (8/8/2021). Mereka berjalan sambil membawa bendera Indonesia dan panji-panji Keraton Yogyakara. Sementara, warga peserta Mubeng Beteng berada di belakang abdi dalem. 

Baca juga:

Ritual ini dimulai pada tengah malam, saat lonceng Kyai Brajanala di Plataran Keben dibunyikan sebanyak 12 kali. Selanjutnya, abdi dalem dan warga peserta kiran berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.

Rute Mubeng Beteng berlawanan dengan arah jarum jam. Dimulai dari Plataran Keben, kemudian peserta ritual melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, dan Jalan Suryowijayan.

Kemudian melintasi pojok Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Jalan Mayjen Sutoyo, pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan Alun-alun Utara. Dari Alun-alun Utara, peserta ritual kembali ke Plataran Keben.

Sebelum mubeng beteng dimulai, terlebih dulu dibacakan tembang-tembang Macapat dari Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta, yang menggambarkan doa-doa.

 
 
 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Kompas Travel (@kompas.travel)

 

Keraton Yogyakarta.Dok. Shutterstock/Julius Bramanto Keraton Yogyakarta.

Sejarah tradisi Mubeng Beteng?

Melansir Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, tradisi Mubeng Beteng merupakan upacara resmi Keraton Yogyakarta sejak pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana.

Mulanya, Mubeng Beteng dilaksanakan oleh para abdi dalem. Seiring waktu, masyarakat juga bisa turut serta dalam ritual ini.

Sumber lain menyatakan bahwa Mubeng Beteng merupakan tradisi asli Jawa yang berkembang pada abad ke-6 sebelum Kerajaan Mataram Hindu, seperti dilansir dari laman Wisata Budayaku Sekolah Vokasi UGM. Tradisi Jawa ini disebut muser yang berarti mengelilingi pusat, seperti sentra desa tertentu.

Sumber sejarah lain mengatakan, Mubeng Beteng merupakan tradisi Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram membangun benteng mengelilingi keraton.

Benteng itu selesai dibangun tepat pada satu Suro penanggalan Jawa. Kemudian, para prajurit rutin mengelilingi benteng untuk menjaga dari ancaman musuh.

Setelah dibangun parit, tugas berkeliling benteng keraton digantikan oleh abdi dalem. Para abdi berkeliling sambil membacakan doa-doa dalam hati agar mereka diberi keselamatan.

Baca juga:

Tapa bisu dalam Mubeng Beteng

Tradisi Mubeng Beteng Keraton YogyakartaDok. Keraton Yogyakarta Tradisi Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta

Dalam tradisi Mubeng Beteng dikenal ritual Tapa Bisu, lantaran selama mengelilingi keraton, peserta kirab dilarang berbicara satu sama lain, alias membisu.

Mereka juga dilarang makan dan minum selama ritual berlangsung. Tapa Bisu merupakan simbol keprihatinan serta instropeksi masyarakat Yogyakarta dalam menyambut tahun baru.

Dalam Tapa Bisu, peserta melakukan intropeksi diri atas apa yang telah diperbuat selama setahun yang lalu. Kemudian, menjadi pengingat untuk memperbaiki diri di tahun yang akan datang.

Makna tradisi Mubeng Beteng?

Prosesi Mubeng Beteng terinspirasi oleh perjalanan hijrah Nubi Muhammad SAW dan sahabat, dari Mekkah ke Madinah, seperti dikutip dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.

Perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tersebut penuh keprihatinan dan perjuangan di tengah gurun pasir yang panas. Peristiwa bersejarah dalam Islam tersebut menjadi pengingat masyarakat dalam menyambut tahun baru yang jauh dari hingar bingar.

Mubeng Beteng dilakukan secara hikmat, hening, dan senyap untuk momentum instropeksi dan refleksi diri selama satu tahun sebelumnya.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, pihak Keraton Yogyakarta meniadakan tradisi Mubeng Beteng karena pandemi Covid-19. Untuk tahun ini, belum ada keputusan resmi mengenai pelaksanaan tradisi Mubeng Beteng. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengalaman ke Pasar Kreatif Jawa Barat, Tempat Nongkrong di Bandung

Pengalaman ke Pasar Kreatif Jawa Barat, Tempat Nongkrong di Bandung

Jalan Jalan
Libur Panjang Waisak 2024, KAI Operasikan 20 Kereta Api Tambahan

Libur Panjang Waisak 2024, KAI Operasikan 20 Kereta Api Tambahan

Travel Update
Pasar Kreatif Jawa Barat: Daya Tarik, Jam Buka, dan Tiket Masuk

Pasar Kreatif Jawa Barat: Daya Tarik, Jam Buka, dan Tiket Masuk

Travel Update
Berkunjung ke Pantai Nangasule di Sikka, NTT, Ada Taman Baca Mini

Berkunjung ke Pantai Nangasule di Sikka, NTT, Ada Taman Baca Mini

Jalan Jalan
10 Wisata Malam di Semarang, Ada yang 24 Jam

10 Wisata Malam di Semarang, Ada yang 24 Jam

Jalan Jalan
Tanggapi Larangan 'Study Tour', Menparekraf: Boleh asal Tersertifikasi

Tanggapi Larangan "Study Tour", Menparekraf: Boleh asal Tersertifikasi

Travel Update
Ada Rencana Kenaikan Biaya Visa Schengen 12 Persen per 11 Juni

Ada Rencana Kenaikan Biaya Visa Schengen 12 Persen per 11 Juni

Travel Update
Kasus Covid-19 di Singapura Naik, Tidak ada Larangan Wisata ke Indonesia

Kasus Covid-19 di Singapura Naik, Tidak ada Larangan Wisata ke Indonesia

Travel Update
Museum Kebangkitan Nasional, Saksi Bisu Semangat Pelajar STOVIA

Museum Kebangkitan Nasional, Saksi Bisu Semangat Pelajar STOVIA

Travel Update
World Water Forum 2024 Diharapkan Dorong Percepatan Target Wisatawan 2024

World Water Forum 2024 Diharapkan Dorong Percepatan Target Wisatawan 2024

Travel Update
Tebing di Bali Dikeruk untuk Bangun Hotel, Sandiaga: Dihentikan Sementara

Tebing di Bali Dikeruk untuk Bangun Hotel, Sandiaga: Dihentikan Sementara

Travel Update
Garuda Indonesia dan Singapore Airlines Kerja Sama untuk Program Frequent Flyer

Garuda Indonesia dan Singapore Airlines Kerja Sama untuk Program Frequent Flyer

Travel Update
5 Alasan Pantai Sanglen di Gunungkidul Wajib Dikunjungi

5 Alasan Pantai Sanglen di Gunungkidul Wajib Dikunjungi

Jalan Jalan
Pantai Lakey, Surga Wisata Terbengkalai di Kabupaten Dompu

Pantai Lakey, Surga Wisata Terbengkalai di Kabupaten Dompu

Travel Update
Bali yang Pas untuk Pencinta Liburan Slow Travel

Bali yang Pas untuk Pencinta Liburan Slow Travel

Travel Tips
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com